Artikel ini ditulis oleh Samson Tanjung, Analitika Politik.
Perkembangan persoalan “kudeta” yang diinisiasi oleh kader aktif, eks kader dan lingkar kekuasaan Jokowi makin menyedot perhatian publik.
Yang menarik, pada perkembangan kasus tersebut, Moeldoko menyebut Luhut Binsar Panjaitan atau biasa disapa LBP.
Moeldoko menyebut, bahwa LBP pernah bercerita ditemui oleh sejumlah kader Demokrat (tentu orang-orang sama dengan yang menemui Moeldoko) dengan bahasan dan topik yang sama.
Munculnya nama LBP cukup mengejutkan publik. Di mana, posisi politik LBP yang cukup strategis dan merupakan orang yang kerap maju kedepan (jika tidak mau kita sebut sebagai decision maker), untuk memecahkan persoalan-persoalan yang terjadi dalam kekuasaan.
Ada beberapa kemungkinan dari terlontarnya nama LBP tersebut. Pertama, Moeldoko mencoba meluaskan pertarungan politik yang terjadi.
Dengan melibatkan LBP, menambah keyakinan diri bahwa ia tidak ditinggalkan sendirian serta menambah kekuatan terhadap serangan yang ada.
Lalu, memastikan bahwa kekuasaan terlibat dan “mem-back up” dirinya.
Moeldoko juga mencoba menyampaikan pesan kepada publik agar terbentuk opini bahwa soal Demokrat adalah semata-mata inisiatif dari mereka yang menemui LBP dan dirinya. Dan, hal tersebut adalah soal biasa.
Namun, dari kedua kemungkinan di atas tersebut, ada saling hubungan langsung. Bahwa benar, soal-soal yang meliputi isu kudeta ini adalah soal yang dibicarakan dilevel kekuasaan.
Dan, sifat dari saling hubungan langsung antara pihak kuasa dengan kelompok yang berencana kudeta adalah organik di dalamnya. Tidak dapat ditampikkan dugaan keterlibatan kuasa untuk penggulingan AHY benar adanya.
Peristiwa penggulingan pimpinan partai, atau cawe-cawe kuasa dalam partai politik pun pernah dialami oleh PDI. Dalam hal ini secara khusus Megawati.
Perseteruan Megawati dengan Suryadi pun menjadi catatan sejarah. Pada kongres PDI di Medan, kekuasaan kala itu ikut cawe-cawe dengan mendukung Suryadi.
Yang paling baru, terjadinya keretakan partai PPP, Berkarya, Golkar, PKS, Hanura, dan yang terakhir adalah PAN.
Di sinyalir kekuasaan ikut terlibat didalamnya. Peristiwa keretakan dan kisruh tersebut terjadi diera kepemimpinan Jokowi.
Secara gamblang, Jokowi dapat dikatakan meneruskan tradisi buruk kuasa dalam upaya menggembosi partai-partai politik. Mungkin, ia merupakan murid terbaik orde baru untuk melemahkan Partai dalam melanggengkan kekuasaan.
Dapat diprediksi kemungkinan dari langkah-langkah yang diambil kuasa, jika diasumsikan kuasa memiliki hubungan langsung dan organik di dalam soal ini.
Pertama, operasi politik terhadap Demokrat akan terus dilanjutkan dengan mengerahkan kekuatan yang memiliki hubungan dengan Demokrat secara umum dan AHY secara khusus.
Tentu dengan imbalan ekonomi dan politik sebagai iming-iming. Pola pertama akan terus dilanjutkan, meski sudah ketahuan atau terbaca oleh Partai Demokrat di bawah kepemimpinan AHY.
Friksi akan terus ditajamkan sampai pada puncak dengan harapn tetap terjadi Kongres Luar Biasa Versi kekuasaan (Belajar dari peristiwa PDI Suryadi dengan Megawati).
Langkah yang lain adalah, menyusun siasat politik dengan mendorong terjadi polemik dalam wilayah hukum. Artinya, terjadi sengketa dan dipersidangkan di PTUN.
Langkah ini akan diambil, agar sengkarut yang melibatkan kekuasaan ini dapat dimenangkan oleh kelompok yang didukung. Lebih jauh, harus ada wajah konstitusionil dan kemenangan tersebut memiliki legitimasi hukum.
Apa yang perlu dilakukan Partai Demokrat? AHY beserta jajarannya mesti melakukan kerja ekstra keras dan cepat untuk melakukan “clearing and cleansing party”, terhadap anasir-anasir yang memiliki kemungkinan tergalang dan digalang kuasa.
Sehingga bisa dipastikan kekuatan Demokrat secara internal aman dan solid. Sisi lain, AHY beserta jajarannya harus mengkalkusi kemungkinan-kemungkinan terjadinya sengketa pada wilayah hukum.
Mengumpulkan para expertis hukum dengan melakukan kajian mendalam terhadap AD/ART dan kalkulasi yang tepat untuk bersiap menghadapi kemungkinan tersebut.
Jika ini berhasil dilakukan oleh AHY dan Demokrat, bisa jadi ini adalah pukulan godam yang kuat untuk tradisi buruk kuasa cawe-cawe kepada partai politik.
Sekaligus memberikan pelajaran bagi Rakyat tentang kedaulatan organisasi dan politik yang bebas dari pengaruh kekuasaan. Pendeknya mewujudkan daulat rakyat dalam politik dan tidak dapat diintervensi.
Sekali lagi, hal ini pun dapat merupakan poin positif Partai Demokrat di mata rakyat. Di mana ia merupakan partai yang kuat, solid, terorganisasi dengan baik. Sehingga layak menjadi lawan setanding bagi penguasa. Lebih jauh, diberi kepercayaan lagi untuk memimpin Indonesia ke depan.
Mengutip Socrates, “kehidupan yang tak teruji tak layak untuk dijalani”. Hal ini mungkin tepat bagi Partai Demokrat. Khusus untuk AHY, “Lautan yang tenang tidak pernah melahirkan Nakhoda yang handal”.
[***]