Artikel ini ditulis oleh Sandi E. Situngkir, SH, MH, Advokat, Inisiator dan Juru bicara Tim Advokasi Penegakan Hukum dan Keadilan (TAMPAK).
Saya adalah pemohon dalam permohonan Pengujian UU No 2 Tahun 2002 tentang Polri adalah pemohon perorangan, warga negara Indonesia yang berprofesi sebagai Advokat.
Legal standing (kedudukan hukum) saya adalah banyak melakukan advokasi publik pada masyarakat korban penggusuran, korban penangkapan polisi terhadap aktivis, kebebasan beragama pada Tim Pembela Kebebasan Beragama (TPKB), termasuk membentuk Tim Advokasi Penegakan Hukum dan Keadilan (TAMPAK) untuk melakukan advokasi pembunuhan Ajudan Kadiv Propam Polri, Brigadir Nopriansyah Josua Hutabarat.
Sebagai warga negara dan advokat menurut UU No. 18 tahun 2003 tentang Advokat, saya adalah penegak hukum yang berkewajiban menegakkan dan menjunjung tinggi hukum.
Bahkan saya pernah juga dilaporkan ke Polda Metro Jaya oleh konglomerasi properti akibat pemberitaan karena pengusaha tersebut ditetapkan sebagai tersangka, di mana pemohon adalah Kuasa Hukum korban properti tak bertanggungjawab.
Beberapa ketentuan dalam Pasal 15, 16 dan 18 UU Polri, membolehkan anggota Polri melakukan tindakan kepolisian menurut penilaian atau penafsirannya sendiri.
Kewenangan yang diberikan kepada Polri untuk melakukan penilaian atau penafsiran sendiri untuk melakukan tugas dan kewenangannya sangat berbahaya dan melanggar hak hidup, hak aman, hak kepastian hukum yang diatur dalam UUD Tahun 1945.
Sebagai manusia, Polisi pastilah bisa salah oleh karena lalai atau sengaja. Pribadi polisi yang terdiri dari daging, jiwa dan roh adalah lemah. Akan tetapi UU Polri memberikan kewenangan untuk menilai dan menafsirkan sendiri untuk melakukan tindakan.
Anggota Polri dapat saja menembak seseorang termasuk Pemohon dengan alasan melarikan diri atau membahayakan jiwa Polisi.
Anggota Polri juga dapat menetapkan dan menahan seseorang atas penilaian sendiri atau lebih dikenal istilah diskresi.
Maka jangan heran banyaknya penembakan polisi dengan alasan melarikan diri dan membahayakan keselamatan anggota Polri.
Banyak juga keluhan dari masyarakat atas tindakan kriminalisasi oleh Polri atas dugaan tindak pidana baik karena tidak cukup bukti maupun karena perbuatan tersebut adalah perdata.
Alasannya sesuai dengan ketentuan UU Polri yang dapat menilai atau menafsirkan sendiri peristiwa tersebut.
Kasus pembunuhan terhadap Ajudan Brigadir Polisi Nopriansyah Josua Hutabarat, Kasus Kerusuhan Kanjuruhan, Kasus Munir, Kasus Novel Baswedan, kasus Kilometer 50, setidaknya hadir karena kewenangan yang diberikan oleh UU Polri menafsirkan atau menilai sendiri.
Celakanya perbuatan tersebut hanya dipandang sebagai pelanggaran Kode Etik Polri yang pemeriksaannya dilakukan oleh Propam Polri. Polisi memeriksa Polisi melanggar prinsif imparsialitas dan keterbukaan. Jeruk makan jeruk, karena Polisi memeriksa Polisi.
Kompolnas menurut Pasal 38 dan Pasal 39 UU Polri hanya lembaga pemberi saran kepada Presiden yang anggotanya wajib 3 orang dari unsur Menterinya Presiden, ditambah pakar kepolisian notabene adalah pensiunan Polri.
Kompolnas tidak memiliki kewenangan memeriksa anggota Polri. Menteri yang bergaji besar dengan status anggota Kompolnas mendapatkan gaji double.
Sehingga apabila diharapkan ketiga menteri yaitu Menkopulhukam, Mendagri, Menkumham sebagai anggota Kompolnas, maka dipastikan tidak dapat mengawasi Polri, karena sama-sama kekurangan kekuasaan eksekutif.
Maka diperlukan lembaga independen sebagai pengawas eksternal Polri termasuk memeriksa, mengadili pelanggaran etik anggota Polri.
Persidangan etik adalah lembaga Peradilan yang bebas dan mandiri. Akan tetapi dengan UU Polri yang sekarang ini, tidak mungkin hal itu terjadi.
Oleh karena itu Pemohon meminta Mahkamah Konstitusi untuk melahirkan norma baru di Pasal 38 UU Polri, kewenangan Kompolnas termasuk memeriksa, mengadili pelanggaran etik yang dilakukan oleh anggota Polri.
Selain itu Pemohon juga memohon supaya Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MK) menyatakan keberlakukan Pasal 39 UU Polri, tetap berlaku sepanjang dimaknai anggota Kompolnas itu adalah unsur masyarakat yang dipilih dan ditetapkan oleh Presiden.
Sekarang ini bunyi Pasal 39 UU Polri, menyatakan anggota Kompolnas berasal dari 3 Menteri, pakar kepolisian dan tokoh masyarakat.
Terhadap pasal 15, 16 dan 18 UU Polri, Pemohon meminta Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MK) supaya dinyatakan tidak miliki kekuatan hukum mengikat. Karena melanggar aturan hak konstitusional warga Negara, termasuk Pemohon.
Persidangan kemungkinan akan mulai dilaksanakan mulai minggu depan secara daring.
[***]