KedaiPena.Com – Koalisi Masyarakat Sipil Indonesia untuk Solidaritas Buruh Perkebunan Sawit, menyerukan penghentian eksploitasi buruh perkebunan sawit.
Pemerintah RI harus segera mengambil langkah kongkret guna mengakhiri eksploitasi buruh perkebunan sawit. Sebab berbagai temuan lapangan terkait sawit Indonesia masih diproduksi dengan cara-cara yang tidak ‘sustainable’ mulai dari ‘deforestasi’, korupsi, pelanggaran HAM termasuk pelanggaran hak-hak buruh.
Perkebunan kelapa sawit yang digembar-gemborkan memiliki penyerapan tenaga kerja yang tinggi justru menciptakan kemiskinan yang struktural diperkebunan kelapa sawit.
Praktik-praktik eksploitatif di perkebunan sawit yaitu; beban kerja tinggi dan target yang tidak manusiawi, praktik upah murah, status hubungan kerja rentan (prekarius) sistem pengawasan ketenagakerjaan yang tumpul, dan pemberangusan serikat buruh independen merupakan realitas buruh yang tak terbantahkan.
“Sebagai negara produsen minyak sawit terbesar dunia, Indonesia tidak memiliki payung hukum yang khusus bagi perkebunan kelapa sawit. UU ketenagakerjaan yang ada justru menjadi beban ganda bagi buruh panen. Buruh harus bekerja lebih dari tujuh jam untuk mengejar target panen mencapai hingga dua ton tanpa menerima lembur,” papar perwakilan Koalisi Masyarakat Sipil Indonesia untuk Solidaritas Buruh Perkebunan Sawit, Herwin Nasution, SH dalam keterangan yang diterima KedaiPena.Com ditulis Kamis (18/5).
Konflik sosial terkait operasional perkebunan kelapa sawit di Indonesia baik yang dialami oleh masyarakat adat, petani maupun buruh jelas telah melanggar pilar kedua ‘United Nations Guiding Principle in Business and Human Rights’ (UNGPs). Dalam UNGPs dijelaskan bahwa perusahaan bertanggung jawab menghormati hak asasi manusia, yang berarti tidak melanggar hak asasi manusia yang diakui secara internasional.
“Caranya dengan menghindari, mengurangi atau mencegah dampak negatif dari operasional korporasi, termasuk dalam produksi minyak sawit Indonesia,” imbuh Direktur Eksekutif Organisasi Perjuangan dan Penguatan Usaha Kerakyatan (OPPUK) ini.
Perlindungan pemerintah terhadap kepentingan investor perkebunan kelapa sawit di Indonesia melalui melalui RUU perkelapasawitan tidak sebanding dengan perlindungan terhadap jutaan buruh perkebunan kelapa sawit. Konvensi ILO 110 tahun 1958 belum menjadi bahan diskursus di Indonesia sehingga melanggengkan praktek feodalisme di perkebunan kelapa sawit.
“Atas problem di atas, kami mendesak pemerintah untuk mengakui secara penuh hak-hak dasar buruh perkebunan kelapa sawit melalui peraturan perundang-undangan khusus untuk buruh perkebunan,” tegas dia.
Dia juga mendorong pemerintah RI dan legislatif untuk meratifikasi konvensi ILO no. 110 tahun 1958 tentang perkebunan, membentuk kelompok kerja atau pokja untuk melakukan investigasi eksploitasi buruh perkebunan kelapa sawit.
Dengan pokja tersebut akan terdorong perbaikan dan menginisiasi sistem regulasi khusus terkait sistem kerja diperkebunan kelapa sawit, melakukan monitoring pelaksanaan peraturan perundang undangan khusus untuk buruh perkebunan sawit.
“Serta mendesak pertanggungjawaban perusahaan untuk memenuhi hak dasar buruh, membuat petunjuk pelaksanaan Undang-undang kebebasan berserikat untuk menghindari pemberangusan, juga menindak tegas intimidasi dan kriminalisasi yang dilakukan oleh manajemen dan pengusaha perkebunan kelapa sawit terhadap serikat independen,” tandas dia.
Laporan: Muhammad Hafidh