KedaiPena.Com – Keberadaan mural atau grafiti sedianya sudah menghiasi Indonesia sejak masa penjajahan. Dalam sejarahnya, mural sendiri sangat mewarnai basis pergerakan yang terjadi saat masa penjajahan Belanda hingga Jepang.
Hal itu disampaikan oleh Ketua Organisasi Kesejahteraan Rakyat atau Orkestra Poempida Hidayatullah dalam PHD Corner Episode Antara Mural dan Kebebasan Berpendapat, Kamis, (26/8/2021).
“Yang namanya mural ini di dalam konteks sejarah perjuangan kita sangat mewarnai basis pergerakan yang terjadi saat itu melawan penjajah Belanda dan bahkan saat masa penjajahan Jepang luar biasa peredarannya,” kata Poempida.
Poempida menerangkan, seharusnya di era yang seharusnya lebih merdeka dan bebas, masyarakat dapat diberikan ruang lebih luas
“Sekarang ini di era yang seharusnya lebih merdeka dan di era lebih bebas orang menyampaikan kritik sosial dan kritik terhadap penguasa, seyoganya di diberi ruang yang lebih luas. Hanya memang sesuai perkembangan zaman banyak sekali over laping dengan isu privasi, isu- isu kemudian vandalisme sehingga terjadi perbenturan itu,” papar Poempida.
Mantan Dewas Pengawas BPJS Ketenagakerjaan ini mengatakan, jika memang mural tersebut dilakukan di lokasi privat dan bersifat tendensius terhadap pribadi seseorang seyoganya bukan tindakan tepat.
“Tapi kalau dilakukan di ranah publik, tempat publik dan milik publik. Lalu pada dasarnya memberikan keindahan tambahan dan kemudian kritiknya yang tidak tendesius terhadap personal tertentu tapi kalau lebih ke arah tangisan sosial masyarakat dan kritikan sosial harusnya lebih diberi ruang,” papar Poempida.
Dengan kondisi demikian, Poempida mendorong, agar sebaiknya Pemerintah Daerah dapat memberikan ruang bagi para seniman mural hingga masyarakat menyampaikan kritikan sosial.
“Diberikan ruang dan dilindungi asal ada syaratnya. Jangan kemudian tidak berbasis. Bisa saja kan namanya kritik menjatuhkan, kritk yang tendensi fitnah ada. Tapi harus kritik yang benar – benar latar belakangnya jelas dan tujuanya mengingatkan,” pungkas Poempida.
Seperti diketahui, mural kritik terhadap pemerintah muncul secara massif di berbagai daerah. Pemerintah pun merespon dengan penghapusan mural tersebut.
Padahal, Presiden Jokowi melalui Kabareskrim Polri Komjen Agus Andrianto mengatakan Presiden tidak ingin Polri bersikap reaktif dalam merespons kritik yang berupa mural atau unggahan di media sosial.
Menurut Agus, kritik terhadap pemerintahan dibolehkan. Ia pun mengatakan di negara demokrasi, penyampaian pendapat dijamin dalam undang-undang.
Laporan: Natasha