KedaiPena.com – Polemik yang terjadi akibat putusan Pengadilan Negeri Jakarta pusat (PN) terkait adanya perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Komisi pemilihan Umum (KPU) membuat para ahli hingga elit partai berbicara konstitusi serta UUD 1945.
Hal tersebut lantaran adanya poin putusan yang menyatakan bahwa proses pemilu harus dihentikan dan dimulai kembali, dari tahapan awal selama 2 tahun 4 bulan 7 hari. Yang otomatis, akan memundurkan jadwal pemilu 2024, yang sudah di mulai tahapannya pada pertengahan tahun lalu.
Ketua Eksekutif Kota, Liga mahasiswa Nasional Untuk Demokrasi (EK-LMND) Kota Bandar Lampung, Riski Oktara Putra berpendapat, bahwa pernyataan para ahli hukum, elit politik hingga pejabat publik adalah pernyataan yang reaksioner.
“Seharusnya mereka melihat persoalan ini dengan jernih dan adil. Jangan melihatnya sepenggal-penggal saja, narasi reaksioner, terkesan mempertontonkan kepentingan golongan mereka, karena mungkin saja ada yang merasa terganggu,” kata Bung Riski, demikian ia akrab dipanggil, melalui keterangan tertulis, Senin (6/3/2023).
Ia menuturkan, tak ada dalam diktum yang mengatakan tunda pemilu, KPU sebagai penyelenggara harus mengulang kembali tahapan, karna terbukti melawan hukum dan konsekuensi dari putusan itu adalah tertundanya tahapan pemilu.
Namun yang harus digarisbawahi adalah semua terjadi karna KPU sendirilah yang melanggar konstitusi dengan menghambat hak sipil warga negara mendirikan partai politiknya.
KPU memang tidak meloloskan PRIMA dalam verifikasi administrasi, karena itu Partai PRIMA melakukan gugatan ke Bawaslu, menuntut keadilan lalu dimenangkan. Namun KPU malah mengabaikan putusan Bawaslu tersebut.
“Seharusnya, para ahli, pejabat publik, hingga negara melihat poin ini, bahwa ada proses penyelenggara yang cacat, curang dan itu terbukti di pengadilan, KPU lah yang seharusnya bertanggung jawab atas kegaduhan dan polemik yang terjadi, bukan malah dibela,” tuturnya.
Tetapi yang terjadi malah sebaliknya, dimana seolah-olah mereka kompak untuk membenarkan tindakan yang inkonstitusional dan melanggar UUD 1945, kompak karena kepentingannya terganggu.
Sembari melansir data dari berbagai lembaga survey, Riski menerangkan, bahwa tingkat kepercayaan publik terhadap lembaga negara rendah dan masyarakat khususnya kaum muda menjadi apolitis.
”itu terjadi, karena hasil dari pemilu yang dilaksanakan oleh KPU sendiri, anggota-anggota dewan, bupati/walikota, gubernur hingga presiden yang kinerjanya malah membuat rakyat kecewa dan jauh dari makna dan substansi demokrasi yang bertujuan untuk mensejahterakan rakyat, karena itu rakyat kecewa,” tambah Riski.
Riski mengemukakan demokrasi itu bukan hanya soal periodisasi, pemilu dan sirkulasi elit.
“Tapi juga mendistribusikan kesejahteraan, merubah struktur ekonomi rakyat, seperti apa yang dicita-citakan para pendiri bangsa kita, namun apakah itu sudah terjadi,” tuturnya lagi.
Riski menegaskan seharusnya hal ini lah yang didiskusikan para ahli dan pejabat negara, yakni mengapa demokrasi Indonesia tidak menghasilkan hal tersebut.
“Seharusnya, ini dijadikan momentum untuk kita kembali mendiskusikan demokrasi dan tujuan kita berdemokrasi. Jangan sampai kita selama ini memang hanya memaknai demokrasi 5 tahunan saja, lalu menjadikan rakyat sebagai objek untuk diperalat memperoleh suara,” kata Riski lebih lanjut.
Merujuk data, bahwa ketimpangan ekonomi yang terjadi di indonesia hari ini semakin menajam dan mengkhawatirkan, dimana satu persen orang menguasai kekayaan, 50 persen lebih.
“Data terakhir itu, apakah itu terjadi karena kita taat konstitusi? Itu kan karena elit, tokoh dan kaum intelektual yang mengaku-ngaku ahli itulah yang mengkhianati konstitusi,” ujarnya.
Selain itu, Riski mendorong KPU berbenah, evaluasi diri, karena KPU bukan hanya pelaksana teknis, tapi lembaga yang harus meningkatkan kualitas demokrasi dan demokrasi partisipatoris.
“Kondisi itu penting. Bukan hanya demokrasi prosedural. Terlihat seolah-olah demokrasi tapi bisa di intervensi sana-sini,” ujarnya lagi.
Sebagai ketua LMND Kota Bandar Lampung, Riski meminta para ahli dan elit-elit politik jernih dan adil dalam melihat persoalan, bahwa rakyat yang sedang berorganisir dan menunjukan partisipasi politiknya dengan membangun partai politiknya sendiri, jangan dikebiri.
“Harusnya para ahli dan elit-elit politik memberikan, solusi dan terobosan. Bukan malah mengecilkan atau bahkan menghilangkan hak politik warga negara,” pungkasnya.
Laporan: Tim Kedai Pena