Artikel ini ditulis oleh Defiyan Cori, Ekonom Konstitusi, Research Associate Bappenas-Alumni FE-UGM dan Bayreuth Universitat.
Secara umum, pertumbuhan ekonomi nasional tahun 2023 sebesar 5,05 persen (ctc) masih berada pada tingkat yang rata-rata selama 10 tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo. Angka ini lebih rendah 0,26 persen dibandingkan dengan capaian 2022 yang sebesar 5,31 persen (ctc). Hasil ini juga dicapai ditengah muramnya kinerja perekonomian dunia hampir sebagian besar negara maju, tak terkecuali Amerika Serikat dan Jepang. Namun begitu, beberapa permasalahan klasik masih terus muncul atas kinerja perekonomian Indonesia itu terkait upaya pencapaian pertumbuhan ekonomi diatas 5 persen, diantaranya reformasi birokrasi terkait perizinan dan perilaku (bahkan nyaris menjadi budaya) korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Sebuah pekerjaan rumah dari cita-cita reformasi tahun 1998 yang hanya “berhasil” menurunkan jabatan Presiden Soeharto tapi tidak mengikis perilaku KKN, justru malah sebaliknya!
Disamping itu, capaian pertumbuhan ekonomi tahun 2023 secara regional atau kewilayahan ternyata tidak merata atau jomplang antara satu daerah/provinsi dengan provinsi yang lainnya. Dominasi capaian pertumbuhan ekonomi terbaik masih tetap berada di wilayah Pulau Jawa dengan kontribusi Produk Domestik Bruto Regional (PDRB) lebih dari 57,05 persen atas PDB nasional. Pertanyaan yang menggelitik publik, yaitu sektor apa saja dan kemanakah alokasi serta distribusi capaian kinerja perekonomian, baik pertumbuhan ekonomi dan PDRB tahun 2023 ini mengalirnya? Apakah berpengaruh atas kinerja penanggulangan kemiskinan dan pengangguran?
Pertumbuhan Rerata, PDB (Masih) Tak Merata
Kinerja perekonomian Indonesia tahun 2023 jika diukur berdasarkan Produk Domestik Bruto (PDB) atas dasar harga berlaku (ADHB) mencapai Rp20.892,4 triliun dengan capaian PDB per kapita sejumlah Rp75 juta atau US$4.919,7. Nilai PDB ADHB pada 2023 tersebut lebih tinggi dari capaian tahun 2022 yang sejumlah Rp19.588,1 triliun atau naik sejumlah Rp1.304,3 triliun (6,2 persen). Sedangkan, PDB atas dasar harga konstan (ADHK) tahun 2023 dapat dicapai sejumlah Rp12.301,4 triliun. Dan, nilai ini juga meningkat dibanding PDB ADHK 2022 yang sejumlah Rp11.710,2 triliun.
Secara khusus, pulau Jawa masih menjadi kawasan dengan kontribusi terbesar dalam pembentukan struktur perekonomian Indonesia, yakni 57,05 persen (cumulative-to-cumulative/ctc) terhadap PDB nasional dengan capaian pertumbuhan ekonomi (PE) wilayah rata-rata 4,96 persen. Selanjutnya, masih diikuti oleh pulau Sumatera sebagai kontributor PDB terbesar kedua, yaitu sebesar 22,01 persen dengan capaian PE sebesar 4,69 persen. Lalu, berturut-turut pulau Kalimantan yang memiliki andil PDB sebesar 8,49 persen dengan PE 5,43 persen; Sulawesi 7,10 persen dan PE 6,37 persen; Bali dan Nusa Tenggara 2,77 persen rata-rata PEnya 4 ; serta Maluku dan Papua dengan kontributor PDB 2,58 persen dan PE-nya 6,94 Persen menjadi capaian antar pulau yang tertinggi se-Indonesia.
Yang agak ganjil dalam capaian pertumbuhan ekonomi tahunan 2023, adalah kelompok provinsi di wilayah Pulau Jawa “dikalahkan” oleh kinerja perekonomian beberapa provinsi di wilayah timur Indonesia. Berdasarkan data yang dipublikasikan secara luas oleh Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan ekonomi tertinggi daerah yang melampaui kinerja perekonomian nasional dicapai oleh Provinsi Maluku Utara (Malut) sebesar 20,49 persen. Pertumbuhan ekonomi tertinggi daerah lainnya yang melampaui pertumbuhan ekonomi nasional berdasarkan provinsi dicapai oleh Maluku dan Papua, yaitu sebesar 10,09 persen diatas capaian nasional. Sedangkan pertumbuhan ekonomi terendah (dibawah capaian PE nasional), yaitu Bali dan Nusa Tenggara sebesar 0,07 persen, yangmana Nusa Tenggara Barat (NTB) adalah provinsi paling rendah, yaitu hanya 1,82 persen.
Jika dibandingkan dengan kinerja kontributor pembentuk struktur perekonomian Indonesia pada Tahun 2021 (juga masih didominasi oleh Pulau Jawa) memang terdapat sedikit pergeseran (shifting) antar pulau. Kontribusi PDB pulau Jawa dua (2) tahun lalu yang sebesar 57,89 persen telah berkurang sebesar 0,84 persen atau hampir 1 persen. Begitu juga dengan capaian pertumbuhan ekonomi/PE di pulau Jawa tahun 2021 hanya sebesar 3,66 persen atau dibawah capaian nasional dengan selisih 0,03 persen. Kemudian, disusul oleh pulau Sumatera mencatatkan kontribusi terhadap PDB sebesar 21,7 persen, dengan capaian PE sebesar 3,18 persen.
Adapun, pulau Kalimantan dan Sulawesi masing-masing memberikan kontribusi terhadap PDB secara nasional sebesar 8,25 persen dan 6,89 persen dengan capaian PE masing-masing sebesar 3,18 persen dan 5,67 persen. Dan, capaian PE tertinggi ditempati oleh pulau Maluku dan Papua, yaitu sebesar 10,09 persen tapi kontribusi PDB terendah secara nasional, yaitu 2,49 persen. Sedangkan, pulau Bali dan Nusa Tenggara yang terendah capaiannya PE-nya secara nasional, yaitu 0,07 persen dengan kontribusi PDB sebesar 2,78 persen.
Disatu sisi, justru pertumbuhan ekonomi yang dicapai tertinggi dibeberapa provinsi kawasan timur Indonesia itu malah menghasilkan jumlah kemiskinan terbesar pula. Provinsi yang merupakan kontributor pertumbuhan ekonomi terbesar se-Indonesia, yaitu Papua menjadi provinsi dengan dengan angka kemiskinan tertinggi. Jumlah penduduk miskin Papua berjumlah 944,49 ribu jiwa pada tahun 2021 atau sebesar 27,38 persen. Pada tahun 2023 jumlah penduduk miskin di Papua adalah 915,15 ribu jiwa (26,03%), dan berkurang sejumlah 29,34 ribu jiwa atau sebesar turun 1,35 persen dibanding periode 2021. Sebaliknya, kondisi kemiskinan di Provinsi Maluku Utara (Malut) justru berkebalikan, jumlah penduduk miskin pada tahun 2021 sejumlah 81,18 ribu jiwa (6,38%). Sedangkan, pada tahun 2023 malah meningkat menjadi 83,80 ribu jiwa (6,46%) atau bertambah sejumlah 2.650 orang.
Disisi yang lain, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) tahun 2021 secara nasional mengalami penurunan, yaitu hanya sebesar 6,26 persen atau sejumlah 8,75 juta diantara 139,81 juta angkatan kerja. Sementara, penduduk yang bekerja pada tahun 2023 sejumlah 131,06 juta orang dan jumlah pengangguran menjadi hanya 7,86 juta orang (5,6%). Jumlah pengangguran di Indonesia telah berkurang sekitar 890 ribu orang pada periode 2021-2023 atau sebesar 10,2 persen. Kondisi angkatan kerja di Provinsi Malut berjumlah 591.800 orang, yangmana penduduk bekerja sejumlah 568.700 orang dan yang menganggur 23.100 orang atau 3,9 persen. Angka pengangguran justru meningkat pada tahun 2023 menjadi 26.041 orang atau sebesar 4,31 persen. Jumlah ini mengalami kenaikan dibanding tahun 2021 sejumlah 2.941 orang atau sebesar 0,41 persen.
Memang terdapat perbaikan atas capaian pertumbuhan ekonomi dan kontribusi PDB yang meningkat itu atas upaya penanggulangan kemiskinan serta berkurangnya angka pengangguran di Indonesia. Mengacu pada data BPS, jumlah kemiskinan secara nasional pada tahun 2024 juga mengalami penurunan, yaitu sejumlah 25,22 juta jiwa. Angka kemiskinan Indonesia ini lebih baik dibanding bulan Maret 2023 yang jumlahnya mencapai 25,90 juta jiwa. Malah, pada tahun 2021 jumlah penduduk miskin masih berjumlah 26,50 juta jiwa. Terjadi pengurangan angka kemiskinan cukup baik diperiode 2021-2023 sejumlah 600.000 jiwa atau sebesar 2,2 persen atas pertumbuhan ekonomi yang dicapai tiga (3) tahun tersebut. Namun, pertumbuhan ekonomi antar wilayah yang lebih baik masih menghasilkan ketimpangan ekonomi struktural sebagai akibat kontribusi PDB yang tidak merata, khususnya di Provinsi Maluku Utara!
[***]