KedaiPena.Com – Ketimpangan dalam penguasaan tanah dan distribusi keuangan pada ujungnya akan bermuara terhadap ketimpangan di dalam pendapatan. Ketimpangan pendapatan ini secara kasat mata terlihat dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.
Demikian dikatakan Salamuddin Daeng dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) dalam keterangan yang diterima KedaiPena.Com ditulis Sabtu (17/3).
“Secara garis besar dapat ditunjukkan oleh keadaan yakin pertumbuhan ekonomi Indonesia dari tahun terus mengalami pertumbuhan. Namun pada saat yang sama jumlah orang miskin terus mengalami peningkatan yang seringkali disebut dengan pertumbuhan yang tidak berkualitas, semakin kurang berkualitas dibandingkan dengan era sebelum reformasi,” jelas dia.
Sepanjang Orde Baru berkuasa, ketimpangan ekonomi nasional yang ditunjukkan oleh gini coenfisien hanya 0,31 (Koefisien Gini tahun 1999) artinya 31 persen kekayaan nasional hanya dikuasai 1 persen orang. Angka ketimpangan seringkali digunakan sebagai bahan argumentasi untuk mengkritik kebijakan pemerintahan Soeharto yang dipandang berpihak pada modal besar.
Namun yang terjadi dalam era reformasi ternyata jauh lebih buruk lagi. Sekarang sejak era reformasi ketimpangan pendapatan meningkat dari 0.31 tahun 1999 menjadi 0.41 pada tahun 2005. Daerah daerah seperti DKI Jakarta ketimpangan pendapatan dapat mencapai 0.43 menurut data resmi BPS.
“Bahkan ketimpangan dalam distribusi kekayaan jauh lebih besar. Beberapa survey independen menyebutkan ketimpangan kekayaan ini mencapai 0.70, artinya 70 persen kekayaan nasional dikuasai oleh 1 persen orang. Kondisi ini merupakan angka ketimpangan yang bersifat ekstrim dan tidak bisa ditoleransi,” Daeng menambahkan.
“Siapa mereka yang menguasai kekayaan nasional tersebut? Mereka adalah minoritas modal asing dan taipan yang mengendalikan keuangan, perdagangan dan bahkan sekarang telah sanggup mengendalikan APBN. Sepanjang era reformasi APBN menjadi ajang bancakan oligarki penguasa bersama para taipan sebagai ajang bisnis mereka. Itulah mengapa APBN Indonesai tidak memiliki lagi kemampuan untuk mensubsidi rakyat,” tandasnya.
Laporan: Muhammad Hafidh