Artikel ini ditulis oleh Peneliti Klimatologi pada Pusat Riset Iklim dan Atmosfer, BRIN, Erma Yulihastin
Suara tonggeret terdengar keras bersahut-sahutan pada pagi hari yang cerah, Rabu (6/4), di kawasan Pasteur, Bandung, Jawa Barat. Tonggeret adalah nama serangga yang muncul dan bersuara keras pada musim kemarau. Dalam pengetahuan tradisional di tengah masyarakat Jawa Barat, suara tonggeret selama ini dianggap sebagai salah satu tanda alam yang menunjukkan musim kemarau. Tapi benarkah demikian? Benarkah wilayah di Bandung dan sekitarnya saat ini telah mengalami musim kemarau?
Berdasarkan data angin dan hujan dari Kajian Awal Musim Wilayah Indonesia Jangka Madya (KAMAJAYA) yang dikembangkan oleh Pusat Riset Iklim dan Atmosfer, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), terdapat ketidaksesuaian antara angin monsun timuran penanda musim kemarau dan intensitas curah hujan di selatan Indonesia yang masih tinggi dengan akumulasi rata-rata intensitas curah hujan sekitar 100-300 mm dalam sepuluh harian atau dasarian selama April.
Dengan kata lain, meskipun angin musim kemarau sudah mulai terbentuk, namun hal ini tidak disertai dengan pengurangan intensitas hujan untuk sebagian besar wilayah monsunal Indonesia. Hal ini misalnya tampak dari kondisi hujan berlimpah di wilayah Bandung, Jawa Barat, selama April yang juga berpotensi terus terjadi hingga Mei 2022. Kondisi ini sekaligus membuktikan bahwa terdapat faktor-faktor lain yang lebih berperan dalam menentukan sifat musim kemarau pada tahun ini yang memiliki kecenderungan lebih basah dari klimatologisnya.
Potensi terjadinya kemarau basah pada tahun ini disebabkan oleh tiga faktor utama. Pertama, peluang terjadinya perpanjangan La Nina hingga Mei 2022 bahkan mungkin dapat terus berlanjut. La Nina yang sudah dimulai sejak Juni 2020 memiliki potensi terus berlanjut hingga 2022. Jika kondisi ini terjadi, maka selama tiga tahun berturut-turut wilayah Indonesia akan mengalami La Nina sebagaimana pernah terjadi pada tahun 2010-2012 yang tercatat sebagai kemarau basah terpanjang dengan dampak kejadian bencana hidrometeorologi tertinggi di Indonesia selama dua dekade terakhir berdasarkan data yang dirilis oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana.
Kedua, potensi terbentuknya fenomena Indian Ocean Dipole (IOD) negatif pada periode kemarau tahun ini yang dapat memengaruhi sifat basah khususnya untuk wilayah di barat Indonesia. Potensi IOD negatif ini dapat mengakibatkan berlanjutnya sifat basah selama periode kemarau bahkan juga selama periode sesudahnya. Peluang terbentuknya IOD negatif ini ditunjukkan oleh model dinamik milik badan meteorologi Australia.
Ketiga, pembentukan vorteks di Samudra Hindia selatan ekuator bagian tenggara dekat dengan sektor Sumatra dan Jawa yang memiliki kecenderungan bersifat persisten. Vorteks di selatan Samudra Hindia sekaligus menandakan pembentukan wilayah konvergensi di barat Indonesia sehingga memicu pertumbuhan awan pada skala lokal dan harian sehingga proses pembentukan hujan selama musim kemarau masih dapat terus berlangsung. Selain itu, karena vorteks yang terpelihara terus dapat berubah menjadi bibit siklon tropis maka kecenderungan pembentukan siklon tropis di Samudra Hindia selatan ekuator dapat terus terjadi sehingga menambah efek basah selama musim kemarau tahun ini.