SEBAGAIMANA nuklir yang dapat disalahgunakan menjadi senjata pemusnah masal. Nuklir juga dapat bermanfaat untuk tujuan kesejahteraan umat manusia, bisa digunakan sebagai pembangkit listrik, dapat juga untuk rekayasa teknologi dan industri yang lebih efisien, dan lain-lain.
Teknologi, juga infrastruktur, adalah alat untuk memudahkan kehidupan manusia. Namun teknologi tak netral, berpotensi menjerat umat manusia. Sangat bergantung kepada gagasan besar dibalik penguasa yang mengendalikan teknologi tersebut.
Kisah penyimpangan fungsi dan tujuan dari inovasi teknologi digambarkan secara fiksi dengan sangat baik di dalam film Geostorm. Film tersebut saat ini sedang tayang di bioskop, sangat menarik ditonton. Film ini mengisahkan inovasi teknologi satelit terbaru untuk tujuan keselamatan bumi dan umat manusia.
Diceritakan, untuk mengatasi perubahan iklim dan anomali cuaca yang sangat ekstrem di masa depan. Sejumlah ilmuan dari 17 negara di dunia berkumpul, mereka bekerjasama, bermusyawarah dan bermufakat untuk melakukan riset dan inovasi. Mega projek itu dipimpin dan diarsiteki oleh seorang ilmuan dari Amerika, Jack Lawson, yang diperankan oleh Gerard Butler, artis papan atas Hollywood.
Para ilmuan yang dipimpin Jack Lawson tersebut kemudian berhasil merancang teknologi satelit yang diberi nama Dutch Boy. Teknologi satelit itu berfungsi mengontrol iklim dan mengendalikan cuaca ekstrim yang mengancam kehidupan umat manusia.
Namun dalam perjalanannya, satelit pengontrol cuaca dan pengendali iklim tersebut dibajak oleh pimpinan intelijen negara. Atas nama tindakan pecegahan, satelit Dutch Boy tersebut disalahgunakan fungsi dan dan tujuannya oleh komplotan intelijen yang dikuasai gagasan kuasa gelap.
Satelit pengontrol iklim dan pengendalian cuaca tersebut kemudian dibelokan fungsi dan tujuannya menjadi senjata pemusnah masal. Satelit Dutch Boy kemudian diuji coba untuk menyerang dan memusnahkan bangsa lain melalui rekayasa iklim dan cuaca.
Teknologi yang tadinya diciptakan untuk tujuan kemanusian berubah menjadi malapetaka kemanusian. Satelit yang awal mulanya berfungsi untuk rekayasa penyelamatan bumi, diubah menjadi senjata pemusnah masal. Serangan menggunakan teknologi satelit cuaca dapat terlihat sangat alamiah, seakan seluruh kehancuran itu disebabkan oleh musibah bencana alam yang telah menjadi takdir Tuhan.
Fungsi dan tujuan dari teknologi satelit yang tadinya untuk mengontrol cuaca dan mengendalikan iklim diubah untuk merekayasa cuaca ekstrem yang dapat memusnahkan negara tertentu. Badai tsunami dan badai topan yang sangat ekstrem dapat direkayasa melalui satelit tersebut untuk menyerang dan memusnahkan kehidupan dari negara lain.
Melalui teknologi satelit tersebut, dapat direkayasa anomali suhu yang sangat dingin di pojok benua tertentu, yang dapat membuat seluruh makhluk hidup membeku hingga mati secara sekejap. Di sudut benua yang lain, digambarkan satelit tersebut dapat merekayasa cuaca panas yang sangat ekstrem hingga membakar manusia dan seluruh makhluk hidup.
Demikianlah, kisah fiksi yang digambarkan sangat futurologis di dalam film Geostorm. Film ini dapat menjadi samacam peringatan dini (early warning) bagi kita, agar senantiasa waspada. Dikatakan peringatan dini lantaran revolusi teknologi, juga pembangunan infrastruktur, bagaikan pisau bermata dua. Sangat bergantung kepada siapa yang menguasai dan mengendalikannya.
Jika yang menguasai atau mengendalikan teknologi tersebut adalah kekuatan batil atau kerajaan kuasa gelap, maka teknologi tersebut dapat digunakan untuk tujuan kejahatan. Demikian juga sebaliknya, jika yang menguasai dan mengendalikan teknologi tersebut adalah kuasa terang, maka teknologi tersebut dapat berguna untuk kemaslahatan bersama.
Untuk Siapa Infrastruktur dan Teknologi Keuangan?
Kembali kepada situasi nyata yang sedang kita hadapi selama tiga tahun Joko Widodo menjadi Presiden. Hingga saat ini kita tak dapat menangkap gagasan besar dibalik pembangunan infrastruktur dan teknologi keuangan yang sedang dikembangkan.
Kita tak mempersoalkan pembangunan infrastruktur dan pengembangan teknologi keuangan (Fintec) yang dijadikan sebagai prioritas pembangunan. Kita sangat butuh infrastruktur, butuh teknologi yang maju untuk memudahkan kehidupan kita. Namun, kita menjadi kuatir lantaran tak adanya gagasan besar yang terintegrasi, memandu dan melandasi beragam mega-projek yang sedang dan akan dibangun.
Siapa yang merancang paket mega projek infrastruktur tersebut? Siapa yang membangun sistem teknologi digital keuangan? Untuk tujuan apa dan untuk siapa mega projek infrarstruktur tersebut dibuat? Untuk maksud apa pembangunan teknologi keuangan yang tersebut dikembangkan?
Jika untuk rakyat, lalu kenapa rakyat dan juga wakil rakyat tak dilibatkan untuk turut serta merencanakan mega projek infrastruktur dan pengembangan teknologi keuangan tersebut? Bukankah negara kita menganut prinsip demokrasi yang mensyaratkan aspirasi dan partisipasi rakyat dalam proses pengambilan keputusan hingga pelaksanaan dan penggunaannya?
Kenapa sebagian rakyat kita yang menggunakan hak demokrasinya yang dijamin oleh konstitusi untuk mempersoalkan sejumlah mega projek tersebut, justru mereka dikriminalisasi dan distigma sebagai musuh negara?
Hingga kini kita tak mengerti detail gagasan besar dibalik pembangunan kerete cepat Jakarta Bandung, padahal untuk kereta listrik (KRL) saja masih belum optimal penggunannya. Kita juga tak paham untuk maksud apa projek reklamasi pantai dibuat, padahal di saat yang sama masih banyak tanah di luar Jawa, yang masih kosong, belum tersentuh pembangunan secara maksimal.
Kita juga tak pernah mengerti maksud dari pembangunan kota Meikarta yang menabrak sejumlah peraturan, baik yang diatur UU maupun Perda. Demikian juga projek listrik 10.000 MW hingga 35.000 MW yang ternyata berunjung pada privatisasi listrik secara terselubung.
Anehnya, di tengah gencarya pembangunan pembangkit listrik 35 MW, di saat yang sama tarif listrik justru naik tinggi mencekik rakyat disaat harga minyak, gas dan batubara jatuh di harga paling rendah sepanjang sejarah.
Perhatikan juga projek jalan tol yang dibanggakan oleh Presiden Joko Widodo yang melewati desa dan sawah, yang hanya dapat dinikmati oleh minoritas orang-orang berduit yang mampu membeli mobil.
Bagi petani miskin, buruh pabrik dan pedagang kecil yang bersepeda ontel, jalan tol hanya bisa ditonton, tak bisa digunakan. Tak ada jalur khusus untuk pejalan kaki, juga sepeda ontel. Jalur khusus untuk gerobak dan becak tak tersedia. Apalagi jalur khusus untuk kerbo, tak usah ditanya.
Untuk dapat menikmati berkendaraan di jalan tol harus punya mobil. Minimal mobil pick up bekas untuk angkut hasil panen. Lagi pula untuk menggunakan jalan tol harus pergi ke kota terdekat, tak ada pintu masuk dan pintu keluar tol di desanya. Orang-orang di desa tak dapat mengakses langsung jalan tol yang dibanggakan-banggakan oleh Presiden Joko Widodo tersebut.
Apa mampu petani kecil, buruh pabrik dan pedagang asongan itu beli mobil dan bayar tiket tol? Bagi petani miskin dan buruh pabrik, lebih baik tak usah pakai jalan tol. Biaya untuk beli teket masuk tol dapat digunakan untuk bayar listrik yang sudah naik sangat tinggi.
Di Yogyakarta, Gubernur DIY, Sri Sultan Hambengkubawono X, menyampaikan protes keras melalui kebijakannya yang menolak pembangunan jalan tol yang hanya menguntungkan segelintir kaum pebisnis. Menurut Sultan, terbatasnya ruang terbuka di Yogyakarta tidak memungkinkan dibangunnya jalan bebas hambatan yang tertutup dan tak semua orang bisa menggunakannya.
“Saya tidak setuju adanya jalan tol, karena rakyat tidak akan mendapatkan apa-apa, tak bisa menggunakan. Diperlebar silakan, tetapi jangan dibuat tol. Tol sing untung ning yang membuat tol, tetapi rakyat di sekelilingnya tak dapat apa-apa, karena jalan ditutup,” kata Sultan.
Sultan menjelaskan, bandara baru di Kulon Progo akan beroperasi pada 2019. Karena itu, untuk memudahkan akses akan dibangun jalan lebar empat jalur bukan tol. Akses jalan Yogyakarta-Solo untuk wilayah Prambanan lebih baik menggunakan jalan baru atau di atas jalan lama. Tak perlu bangun jalan tol, demikian kata Sultan.
Pembangunan Dibajak Kartel Ekonomi
Berdasarkan kenyataan praktek pembangunan tersebut, dapat kita tarik kesimpulan bahwa pembangunan infrastruktur dan pengembangan teknologi keuangan yang dijalankan selama 3 tahun pemerintahan Joko Widodo, diduga sepenuhnya dirancang dan dikendalikan oleh kerajaan kuasa gelap, yaitu kartel ekonomi, kartel infrastruktur, kartel properti, kartel keuangan global, serta kartel vendor yang mengendalikan BUMN.
Presiden Joko Widodo yang sangat kosong gagasan besar, tak mampu memimpin, memandu, memberi bentuk, warna, tujuan dan fungsi dari setiap pembangunan yang direncanakan, dilaksanakan dan digunakan. Bentuk, tujuan dan fungsi dari pembangunan infrastruktur dan pengembangan teknologi keuangan telah dibajak dan dikendalikan oleh kerajaan kuasa gelap atau kartel ekonomi.
Akibatnya, pembangunan infrastruktur dan revolusi teknologi justru terpisah dari tujuan bernegara, yaitu untuk membangung kesejahteraan bersama. Dampak dari pembangunan infrastruktur dan revolusi teknologi keuangan justru menempatkan mayoritas rakyat sebagai objek yang dieksploitasi oleh segelintir kartel ekonomi.
Jalan tol dan kereta cepat dibuat untuk bisnis cari keuntungan, sekaligus sebagai akses terhadap projek properti. Projek reklamasi dan Meikarta dibuat untuk cari untung dengan merusak lingkungan hidup sekitarnya, dirancang dengan melanggar peraturan untuk membangun negara dalam negara. Projek pembangkit listrik 35.000 MW dibuat semata untuk bisnis listrik oleh komplotan kartel listrik yang mengendalikan PLN.
Demikianlah kenyataan pahit yang harus kita terima, akibat Presiden yang diamanatkan untuk memimpin negara tak punya gagasan besar. Jika pemimpin sebuah negara terjebak di dalam kerja praktis dengan semboyan kerja dan kerja semata, tanpa mempedulikan gagasan besar dan nilai-nilai yang melandasi dan memandu kerja tersebut, maka kerja tersebut berpotensi dibajak untuk kepentingan kuasa gelap atau kerajaan kebatilan, yang kini tampil dalam bentuk kartel ekonomi.
Hancurnya sistem negara disertai rusaknya moral pejabat dan aparatur negara, memperkokoh kerajaan kuasa gelap (kartel ekonomi) untuk membajak, menguasai dan mengendalikan negara dan menghisap rakyat.
Oleh Haris Rusly, Eksponen Mahasiswa 1998 Yogyakarta, Petisi 28