JUMLAH korban virua corona yang terus meningkat, menimbulkan beragam kekhawatiran. Negara, sepertinya dihadapkan situasi yang cukup dilematis, antara perlindungan warga dan pertumbuhan serta kelangsungan ekonominya.
Kebijakan proteksi untuk keberlanjutan hidup warganya melalui pemberlakuan berjarak sosial (social distancing) dan isolasi mandiri berimbas ke penurunan (slow down) aktifitas ekonomi atau produksi. Di sisi lain, produktifitas kerja harus tetap terus terjaga guna memelihara stabilitas ekonomi dan kehidupan.
Buruh atau pekerja menjadi garda terdepan di masing masing posisi kerjanya di situasi kebijakan tersebut. Akibatnya, pekerja di berbagai sektor pun masih saja bekerja penuh waktu guna (terpaksa) memastikan aktifitas fundamental layanan usaha, ekonomi serta produksi, terus berjalan.
Di tengah situasi darurat bencana saat ini, presensi kerja dominan masih diberlakukan korporasi di daerah terjangkau darurat bencana. Sementara korporasi lainnya, adapula yang memilih kebijakan membatasi jam kerja di posisi kerja tertentu. Keduanya masih mewajibkan presensi (kehadiran) di tempat kerjanya.
Di sisi lain, dari protokol kesehatan yang ada, menghindari keramaian dan mengurangi interaksi sosial menjadi keharusan guna meminimalisir dari terjangkitnya wabah pandemi corona. Wabah ini dapat mengancam kelangsungan hidup penderitanya.
Jakarta misalnya, masuk dalam kategori “merah” untuk pandemi corona. Meski kebijakan ‘social distancing‘ diberlakukan oleh Pemda DKI Jakarta, masih saja ditemui buruh atau pekerja masuk bekerja, seolah kondisi normal adanya. Belakangan Pemda DKI Jakarta akhirnya menerbitkan surat edaran agar korporasi menyesuaikan aktifitas usahanya.
Lalu, bagaimanakah pekerja ataupun serikat pekerja bersikap dan merespon kondisi itu ?
Mengacu pada UU 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, ada hak dan kewajiban warga negara serta lembaga usaha. Pada pasal 26-27 dan pasal 28-29 telah mengatur soal warga negara dan lembaga usaha tersebut.
Untuk warga negara, selain muncul hak, juga ada kewajibannya. Soal hak, utamanya, hak atas perlindungan sosial dan rasa aman khususnya bagi warga masyarakat rentan bencana. Bagi yang terkena bencana, juga berhak atas bantuan pemenuhan kebutuhan dasar nantinya.
Untuk hal kewajiban, warga negara harus menjaga kehidupan sosialnya secara harmonis, turut-serta dalam penanggulangan bencana dan juga memberikan informasi yang benar tentangnya.
Di lain sisi, lembaga usaha yang ada, diminta untuk menyesuaikan kegiatan usahanya dengan kebijakan penyelenggaraan penanggulangam bencana. Kemudian, lembaga usaha juga berkewajiban mengindahkan prinsip kemanusiaan dalam melaksanakan fungsi ekonominya.
Melihat kondisi itu, proteksi terhadap pekerja dari potensi terkena bencana menjadi prioritas. Apalagi kini, korban wabah pandemi corona pun terus meningkat dengan ancaman kematian yang menyertainya.
Pada tingkat kedaruratan tertentu, presensi kerja ini bisa didorong untuk tidak berlaku dan juga menjadi ‘privilege‘ pekerja. Ini sebagai perwujudan untuk mendapatkan rasa aman bagi dirinya dari wabah penyakit itu.
Serikat Pekerja berperan untuk melaksanakan fungsinya guna mendapatkan hal tersebut bagi pekerja dan anggotanya. Sebagaimana disebut di pasal 27 dari UU tentang Serikat Pekerja (SP) 21 tahun 2000, SP memiliki kewajiban untuk melindungi dan membela anggotanya dari pelanggaran hak-hak dan memperjuangkan kepentingannya.
Untuk melangkah ke arah itu, perlu kembali dipetakan posisi atau jabatan kerja yang ada. Pekerjaan kritikal dicari opsi jalan keluarnya, sementara untuk pekerjaan lainnya bisa dihentikan sementara atau dilakukan di lain tempat (rumah).
Pada kondisi yang memaksa, penghentian kerja untuk seluruh unit kerja bisa ditempuh. Apalagi jika didukung pula oleh regulasi otoritas yang berwenang. Meski demikian, untuk keputusan memaksa penghentian itu, ada simpul yang harus dibangun bersama sebelumnya.
Kesadaran (‘awareness’) untuk segera membuka forum bipartit (pengusaha dan serikat pekerja) adalah jalan terbaik yang bisa dilakukan.
Saat ini, keadaan tertentu darurat bencana wabah corona telah ditetapkan oleh Pemerintah (BNPB) melalui SK BNPB No. 9 dan 13A. Masa situasi untuk keadaan tertentu inipun diperpanjang hingga 29 Mei 2020.
Aktifitas tanggap darurat bencana, tengah dilakukan oleh pemerintah bersama perangkatnya, khususnya BNPB dan Pemda.
Lalu, dalam situasi darurat bencana itu, masihkah menjadi ‘kewajiban’ untuk hadir bekerja di lembaga usaha?
Oleh Achmad Ismail, Gerakan Buruh dan Pekerja BUMN