Artikel ini ditulis oleh Syafril Sjofyan, Pemerhati Kebijakan Publik, Sekjen FKP2B, Aktivis Pergerakan 77-78.
Andai pada butir kedua surat edaran tentang larangan Buka Puasa Bersama itu ditambahkan kalimat “pada instansi masing-masing”, maka jelas bahwa larangan itu khusus hanya berlaku untuk kalangan instansi masing-masing saja.
Namun dengan tidak adanya tambahan kalimat tersebut pada butir kedua, maka larangan tersebut dapat diinterpretasikan sebagai larangan untuk kalangan masyarakat luas.
Pemerintah menerbitkan Surat Edaran Sekretaris Kabinet RI nomor R.38/Seskab/DKK/03/2023 perihal arahan terkait penyelenggaraan buka puasa bersama.
Alasan masih dalam masa penanganan Covid-19, transisi dari pandemi menuju endemi, Jokowi menginstruksikan pelaksanaan buka puasa bersama pada bulan suci Ramadhan 1444 Hijriah ditiadakan.
Wajar jika kemudian mengundang reaksi keras dari masyarakat luas, karena dianggap tidak adil.
Mengapa? Beberapa kegiatan pertemuan akbar di Stadion Senayan saja pernah dilakukan pasca pandemi, bahkan pernah pula ada berbagai pertunjukan konser di berbagai kota yang dihadiri para pejabat pusat dan daerah, dengan jumlah puluhan ribu sampai ratusan ribu.
Jika pertemuan/pertunjukan secara umum pernah dilakukan, mengapa justru harus melarang acara buka puasa bersama yang relatif bernuansa keagamaan?.
Sekalipun pada instansi/lembaga pemerintahan. Buka Puasa Bersama sudah merupakan kearifan budaya khas Islam di Indonesia. Terkadang diselenggarakan bersama dengan anak-anak yatim.
Biasanya Buka Puasa Bersama dengan jumlah terbatas tidak sampai ribuan orang seperti pertunjukan konser dan pesta perkawinan Kaesang anak Jokowi. Buka Puasa Bersama paling banter ratusan peserta.
Tentu sesuai kantong pengundang dan lokasi Bukber, atau bahkan pelaksanaanya patungan, dengan tujuan bersilaturahmi mempererat ukhuwah. Sepertinya belum pernah bukber diadakan di stadion ataupun aula raksasa pertunjukan konser.
Memang aneh dan tidak masuk akal, kecuali jika rezim Jokowi “ketakutan” dengan kegiatan Buka Puasa Bersama. Sampai harus meminta agar Menteri Dalam Negeri menindaklanjuti arahan tersebut kepada para gubernur, bupati dan walikota.
Arahan terkait penyelenggaraan buka puasa bersama tersebut juga ditujukan kepada Menteri Kabinet Indonesia Maju, Jaksa Agung, Panglima TNI, Kapolri, dan Kepala Badan/Lembaga.
Sebaiknya surat edaran Peniadaan Buka Puasa Bersama dari Presiden Jokowi, tersebut ditarik. Karena tidak jelas peruntukannya, bias multi tafsir. Bisa saja ditafsirkan rezim Jokowi “ketakutan” di akhir masa jabatannya.
Lain lagi “ketakutan rezim” terhadap viralnya ketidakberesan dana raksasa Rp349 triliun di Kemenkeu. Alih-alih memberikan penghargaan. Malah anggota Komisi III DPR RI, Arteria Dahlan, mencecar Kepala PPATK Ivan Yustiavandana soal bocornya transaksi janggal di Kemenkeu Rp 349 triliun ke publik.
Tidak cukup dengan cecaran Arteria, sang Politisi PDIP malah “mengancam pidana” Kepala PPATK terkait Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) harusnya dirahasiakan, merujuk UU No 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU.
Siapa yang sebenarnya harus dilindungi oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Pembocor atau koruptor?. Sepertinya Rp349 Triliun tersebut sudah “dicuci” kemana-mana. Hancur.
DPR seharusnya punya “keberanian” memanggil Jokowi untuk meminta pertanggung jawaban Presiden atas kebocoran uang rakyat dengan jumlah luar biasa tersebut. Ataukah DPR sudah menjadi “pelindung” para pencuci uang dan para koruptor?
[***]