Artikel ini ditulis oleh Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies).
Ketika kritik dianggap bahaya, maka upaya mempidanakan kritikus menjadi pilihan utama. Akan dicari pasal-pasal pidana untuk bisa penjarakan mereka yang bersuara kritis menentang kebijakan.
“Kritik boleh, asal sopan.” Itu jargon, atau syarat kritik, yang menjadi pegangan (para pendukung) penguasa.
Ketika kritik menjadi “tidak sopan”, menurut ukuran mereka, maka “kritik tidak sopan” tersebut bisa menjelma menjadi tuduhan penghinaan, penyiaran berita bohong, pencemaran nama baik, ujaran kebencian, dan sejenisnya. Umumnya, mereka akan ditahan alias dipenjara.
Sudah banyak anak bangsa ditersangkakan dan ditahan dengan tuduhan seperti itu. Antara lain, Syahganda Nainggolan, Jumhur Hidayat, Anton Permana dan Edy Mulyadi. Keempatnya ditahan dan kemudian divonis bersalah melanggar Pasal 15 UU No 1 Tahun 1946: menyiarkan kabar yang tidak pasti atau yang berkelebihan atau yang tidak lengkap.
Apakah tuduhan jaksa dan putusan hakim tersebut adil, atau hanya unjuk kekuasaan, saat ini tidak begitu penting lagi.
Karena, yang terpenting saat ini adalah menuntut aparat penegak hukum menegakkan konstitusi Pasal 28D. Yaitu setiap orang sama di depan hukum, atau kesetaraan hukum. Artinya, para pejabat negara tidak kebal hukum.
Artinya, masyarakat juga bisa melaporkan para pejabat negara yang diduga “menyiarkan berita bohong dan menerbitkan keonaran”, seperti dimaksud di dalam UU ITE No 11 Tahun 2008 dan UU No 1 Tahun 1946 tersebut. Dan pihak polisi wajib menindaklanjutinya.
Berdasarkan informasi yang beredar di publik, cukup banyak pejabat negara diduga telah menyiarkan berita tidak benar, atau berita bohong, atau berita tidak lengkap. Beberapa di antaranya, yaitu:
Luhut Binsar Panjaitan, Menko Maritim dan Investasi, diduga telah memberi pernyataan tidak benar, atau menyiarkan berita bohong, di acara podcast di channel YouTube Deddy Corbuzier. Ketika itu, Luhut Binsar Panjaitan mengatakan mempunyai data aspirasi rakyat Indonesia yang menginginkan penundaan Pemilu 2024.
Luhut Binsar Panjaitan diduga telah menyiarkan berita bohong, dan menimbulkan kegaduhan di masyarakat, karena Luhut tidak pernah bisa menunjukkan sumber data yang valid.
Kemudian, Sri Mulyani, Menteri Keuangan. Sejak pertengahan tahun 2022, Sri Mulyani aktif memberi pernyataan atau pemberitahuan kepada publik bahwa subsidi BBM sangat besar, mencapai Rp502 triliun, untuk tahun anggaran 2022, dan bisa membuat APBN jebol.
Sri Mulyani bahkan menambahkan, kalau harga BBM, yaitu pertalite dan solar, tidak naik, maka subsidi BBM akan membengkak Rp200 triliun lagi, sehingga mencapai Rp700 triliun.
Pernyataan Sri Mulyani bahkan dikutip oleh Erick Thohir, Bahlil Lahadalia, Airlangga Hartarto, dan presiden Jokowi.
Sri Mulyani diduga telah menyiarkan berita bohong, karena tidak bisa membuktikan pernyataannya mengenai subsidi BBM tersebut, termasuk data di APBN 2022.
Faktanya, APBN 2022 tidak jebol, bahkan realisasi APBN 2022 lebih baik dari anggaran. Realisasi subsidi BBM 2022 juga jauh lebih rendah dari pernyataannya.
Selain itu, pernyataan Sri Mulyani telah menimbulkan keonaran di masyarakat. Pertama, berita yang diduga bohong tersebut menjadi dasar bagi pemerintah untuk menaikkan harga BBM, dan kedua, kenaikan harga BBM tersebut memicu demo oleh berbagai kelompok masyarakat, termasuk buruh dan mahasiswa, di puluhan kota di Indonesia.
Selanjutnya, presiden Jokowi, terkait penetapan PERPPU (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang) Cipta Kerja pada 30 Desember 2022.
Presiden Jokowi menyatakan akan ada “krisis ekonomi global”, yang kemudian dijadikan faktor kegentingan memaksa sebagai dasar diberlakukannya PERPPU Cipta Kerja.
Ternyata, sampai saat ini tidak ada krisis ekonomi global, maupun krisis ekonomi di Indonesia. Karena itu, masyarakat menduga presiden Jokowi telah melakukan penyiaran berita bohong.
Sebagai akibat, penyiaran berita yang diduga bohong tersebut sudah menimbulkan kegaduhan dan keonaran di masyarakat, berupa gelombang demo dari berbagai kelompok masyarakat, khususnya buruh.
Sepertinya tidak terlalu sulit melengkapi dua alat bukti, sebagai dasar laporan awal masyarakat ke pihak penegak hukum.
Pertanyaannya, apakah ada “relawan rakyat” yang mau melaporkan para pejabat negara yang diduga “menyiarkan berita bohong atau menerbitkan keonaran” ke pihak yang berwajib, seperti yang dilakukan oleh relawan dan pendukung Jokowi?
Mungkin, pada suatu saat, yang bisa terjadi, akan terjadi: Murphy Law. “Anything that can go wrong will go wrong”, and at the worst possible time.
[***]