KedaiPena.com – Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat menilai ada gagal nalar dalam penentuan kebijakan melalui RUU Omnibuslaw kesehatan yang memarginalkan kesehatan masyarakat ketimbang UU IKN yang semestinya belum layak dijadikan proyek strategis nasional jika hal yang mendasar seperti kesehatan masyarakat ini terjamin.
“Jika memang minimnya kondisi fiskal seharusnya pemerintah mereduksi hal-hal yang tidak prioritas seperti subsidi mobil listrik dan IKN. Seharusnya pemerintah memprioritaskan perbaikan kesehatan masyarakat yang masih dalam kondisi rentan paska COVID-19,” kata Achmad Nur, ditulis Sabtu (24/6/2023).
Ia juga mempertanyakan urgensi dari pembuatan RUU Omnibuslaw Kesehatan. Apalagi RUU ini mendowngrade layanan kesehatan yang seharusnya ditingkatkan kualitasnya.
“Pembahasan RUU Omnibuslaw Kesehatan tanpa partisipasi publik cacat prosedur dan patut dicurigai. Seperti halnya dalam pembahasan RUU IKN yang disahkan hanya dalam waktu 42 hari dan minim partisipasi publik, juga RUU minerba yang tidak sesuai dengan aspirasi rakyat dimana pengusaha lebih diuntungkan daripada negara,” ucapnya.
Dan kini, lanjut Achmad Nur, RUU Omnibuslaw kesehatan yang menghapuskan mandatory spending kesehatan dibuat tertutup sehingga publik terutama para pakar kesehatan tidak mempunyai kesempatan untuk ikut berkontribusi dalam penyempurnaan RUU tersebut.
“Undang-undang semestinya dibuat dalam rangka memberikan benefit bagi masyarakat. Jika RUU kesehatan ini menempatkan kesehatan masyarakat menjadi rentan maka harus dipertanyakan bahwa RUU ini sebetulnya untuk siapa?” ucapnya lagi.
Ia menilai dengan dihapuskannya mandatory spending dalam RUU Kesehatan, kesehatan masyarakat seperti diserahkan ke mekanisme pasar.
“Masyarakat harus mencari jalan keluar sendiri untuk survive menjaga kesehatannya. Artinya mereka akan diombang-ambing oleh keadaan yang membuat mereka mau tidak mau harus memenuhi kebutuhan kesehatan mereka tanpa bantuan dari negara,” kata Achmad Nur lebih lanjut.
Minimnya anggaran kesehatan, lanjutnya, akan membuat fasilitas kesehatan sulit berkembang sementara kebutuhan layanan kesehatan semakin bertambah. Harga obat akan mencekik jika pemerintah tidak intervensi sementara kemampuan mayoritas penduduk masih sangat minim.
“Seharusnya, Mandatory Spending di RUU Omnibuslaw kesehatan harus ada, bahkan ditingkatkan. Pandemi Covid19 yang terjadi telah memporakporandakan ekonomi masyarakat. Hal ini membuat spending masyarakat lebih tinggi untuk membiayai kesehatan dari sisi kebutuhan obat-obatan, vitaman ataupun layanan kesehatan. Penurunan daya beli masyarakat memperparah kondisi kesehatan mereka. Dalam kondisi tersebut negara dituntut untuk turun tangan untuk menjaga kesehatan masyarakat dan harus selalu ada upaya pemerintah untuk bisa menjaga imunitas masyarakat,” pungkasnya.
Laporan: Ranny Supusepa