Artikel ini ditulis oleh Bambang Dwi Hartono (Bambang D.H), mantan Wali Kota Surabaya, aktivis mahasiswa 1998.
Mas Rizal Ramli selain merupakan tokoh yang memiliki kemampuan intelektual dan berani, juga dikenal sebagai tokoh yang konsisten. Tiga hal inilah yang sangat menonjol.
Selain itu Mas Rizal Ramli juga cukup luwes dalam membangun dan memelihara jaringan. Termasuk dengan para aktivis mahasiswa. Selalu menciptakan kehangatan dalam diskusi. Bahkan kadang-kadang panas.
Pada saat ‘98, menjelang kejatuhan Soeharto, kita semua bersinergi. Siapa saja yang melawan rezim Soeharto ketika itu maka langsung bahu-membahu membangun jaringan dan terus menekan pemerintah.
Kita terus inisiasi gerakan dan masuk ke kampus-kampus dan berkomunikasi dengan tokoh organisasi buruh di berbagai wilayah.
Selain Mas Rizal Ramli, yang menonjol ada Mas Heri Achmadi dan almarhum Arief Ariman. Kami kerja hampir tidak mengenal waktu. Itu kerja politik yang paling mengesankan. Dimana semua bekerja saling mengisi dan menguatkan.
Saat ramai penculikan terhadap para aktivis, gerakan mahasiswa juga tidak reda, tapi justru semakin memperbesar energi pertempuran.
Saya kehilangan patner yang sehari-hari bekerja sebagai connector maupun pembangun jaringan. Yaitu Herman Hendrawan. Partner saya ini termasuk 13 aktivis yang diculik dan sampai dengan saat ini tidak jelas keberadaannya.
Suatu saat kami yang berposko di Jalan Tebet Barat Dalam, yaitu kantornya Mas Rizal Ramli, menerima keluhan dari kawan-kawan aktivis di sejumlah kampus. Mereka banyak tidak pulang selama berhari-hari. Baju, celana tidak pernah ganti. Malah celana dalam terpaksa harus dipakai dibolak-balik, side A, side B. Akibatnya gatal dan sangat risih, kata mereka.
Saya langsung sampaikan ini ke Posko Tebet dan dalam waktu tidak lama kita bisa langsung drop (kirim) ke beberapa titik mahasiswa di Gedung DPR Senayan, dan sekitarnya. Selain celana dalam dan pakaian dalam lainnya, Posko Tebet secara berkala juga mengirimkan handuk kecil, pasta gigi, sikat gigi, air mineral, vitamin, nasi bungkus, dan beberapa keperluan lainnya untuk para mahasiswa di lapangan.
Saya sendiri sebenarnya punya tempat kost di Jalan Borobudur, Jakarta Pusat, bersama Herman Hendrawan (almarhum). Tapi nggak pernah kami tempati. Karena saat itu penggrebekan teman-teman gencar sekali, dan diisukan sebagai buronan kasus narkoba. Tempat di kawasan itu sebenarnya sangat strategis. Dekat dengan Kantor LBH. Enak untuk koordinasi dengan kawan-kawan disana.
Saya nggak ingat persis berapa lama bertahan di Posko Tebet. Tapi lumayan lama juga. Kami bersama kawan-kawan berada disitu, tidur, mandi, makan, dan setiap hari bekerja bahu-membahu untuk pergerakan mahasiswa dalam menjatuhkan rezim otoriter Soeharto.
Jawa Timur, sebagai daerah asal saya, waktu itu saya anggap sudah matang. Saya sempat bolak-balik, dan kembali ke Jakarta bersama Herman Hendrawan. Kita menganggap sebagus apapun gerakan di daerah, seperti di Jawa Timur, titik pukulnya adalah tetap di ibu kota. Di Jakarta, dengan posko kami Posko Tebet.
Karena itu kami memperkuat jaringan, gerakan, dan aksi-aksi di ibu kota.
Peran Posko Tebet cukup besar dan termasuk posko yang awal memberikan bantuan kepada gerakan mahasiswa yang menduduki Gedung DPR.
Oh ya, bantuan rokok waktu itu juga melimpah. Sehingga kita tempatkan rokok-rokok itu di berbagai titik di Gedung DPR Senayan. Siapa saja bebas mengambil rokok-rokok itu.
Tentu saja masih banyak sekali kisah-kisah yang mengesankan dari peristiwa ‘98 itu. Kenangan yang tidak pernah terlupakan bagi saya sebagai aktivis mahasiswa ‘98 yang bersinergi dengan aktivis mahasiswa ‘78 seperti Mas Rizal Ramli.
[***]