Artikel ini ditulis oleh Nasyith Majidi, Pengelola Econit era 98.
TAHUN ‘98 adalah tahun yang punya makna penting bagi saya secara pribadi.
Karena di tahun itu selain terjadi perubahan rezim yang sebelumnya tak terbayangkan bisa runtuh, juga karena saya menjadi bagian dari mereka yang terlibat dalam proses meruntuhkan rezim Soeharto tersebut.
‘98 merupakan tahun dimana hubungan saya dengan Mas Rizal Ramli sangat intens.
Saya bersamanya hampir 24 jam dalam satu hari. Praktis tidak ada hari libur dan jam kerja.
Ini karena kapasitas saya sebagai pengelola lembaga think tank ekonomi, Econit (Economic, Industry, and Trade), yang dipimpin oleh Mas Rizal Ramli.
Pada masa itu kantor Econit kami pergunakan sebagai Posko untuk membantu gerakan mahasiswa, siang dan malam, selama 24 jam nonstop, terutama berkaitan dengan bantuan kebutuhan logistik untuk mereka, mulai dari makanan, minuman, obat-obatan, pakaian, dan sebagainya.
Termasuk bantuan untuk para mahasiswa yang sedang menduduki Gedung DPR, Senayan, yang selama berhari-hari itu.
Posko kami ini waktu itu dikenal dengan sebutan Posko Tebet. Karena lokasinya memang di wilayah Tebet, Jakarta Selatan.
Bekerja dengan tidak mengenal waktu adalah kebiasaan Mas Rizal Ramli. Memang begitulah ia yang saya kenal sejak tahun 1990-an, sepulangnya dari menyelesaikan program doktor di Boston University, Amerika Serikat.
Mas Rizal Ramli sosok yang ulet, pekerja keras, goal oriented, dan sering mengorbankan kepentingan pribadinya untuk kepentingan publik yang lebih luas.
Saat itu usianya baru 43 tahun, dan merupakan gambaran sosok idola para aktivis mahasiswa. Ia matang, cerdas, berani, dan enerjik. Tidak banyak aktivis saat itu yang seperti dia, yang layak jadi panutan.
Rizal Ramli menjadi magnet bagi aktivis generasi di atasnya, dan generasi di bawahnya.
Dengan aktivis yang lebih senior, ia bukan orang yang perlu membuktikan diri sebagai sosok yang selalu menginginkan perubahan ke arah Indonesia yang lebih baik, karena Penjara Sukamiskin, Bandung, cukup menjadi saksinya.
Sementara dengan aktivis yang lebih yunior, ia seperti payung. Dalam arti mengayomi dan memberi wawasan ke-Indonesiaan yang ia idamkan.
Bahkan payung bagi akomodasi dan finansial yang sering dihadapi oleh para aktivis.
Rizal Ramli bukan orang yang memiliki kelebihan finansial. Tapi ia selalu berusaha dengan banyak cara untuk bisa membantu para aktivis yang memerlukan bantuan, sepanjang masih masuk akal baginya.
Saya adalah orang yang menjadi saksi Mas Rizal Ramli ikut memiliki peran cukup besar dalam gerakan Reformasi ‘98.
Ia misalnya menyampaikan pesan situasi lapangan pada bulan Mei ‘98 secara langsung kepada adik tiri Soeharto, Probosutedjo, dengan mendatangi rumahnya di kawasan Menteng, Jakarta Pusat.
Hal ini dimungkinkan karena sebagai ekonom senior pergaulan Mas Rizal Ramli sangat luas, mencakup berbagai kalangan, termasuk dengan kalangan pengusaha seperti Probosutedjo.
Intinya, Mas Rizal Ramli meminta kepada Probosutedjo supaya menyampaikan kepada Soeharto agar mundur dari jabatannya sebagai presiden, karena rakyat dan mahasiswa sudah tidak menginginkan.
Di malam harinya Mas Rizal Ramli menemui Menko Polkam, Jenderal Wiranto, di kantornya. Menyampaikan aspirasi mahasiswa dan rakyat yang mendesak Soeharto agar segera turun dari kekuasaan.
Hal ini lagi-lagi dimungkinkan karena Mas Rizal Ramli sejak tahun 1990-an adalah panasehat bidang ekonomi untuk ABRI dan Fraksi ABRI di DPR.
Tentu tidak banyak orang yang bisa melakukan hal seperti ini. Apalagi di dalam sebuah rezim yang sangat berkuasa seperti saat itu, dengan kekuatan tentara yang sangat dominan.
Hal lainnya adalah banyak aktivis ‘98 yang dulunya dibina oleh Mas Rizal Ramli kini sudah sangat mapan di dunia politik.
Ada yang masih sejalan, ada pula yang sudah berbeda pilihan politik.
Tapi Mas Rizal Ramli tetap menjadikan perbedaan politik sebagai hal yang lumrah. Ia tidak lantas membenci mereka yang berbeda haluan, tetapi berusaha untuk memahaminya.
Baginya, seperti yang sering disampaikan kepada saya, politik adalah alat untuk bisa berbuat kebaikan kepada Indonesia yang sangat ia cintai. Bukan kekuasaan yang menjadi target utama.
Di sinilah, mungkin orang sering salah paham kepadanya yang sering terlihat keras dalam menyampaikan gagasan, baik saat ia di dalam kekuasaan maupun di luar kekuasaan.
Jiwa aktivisnya yang kadang seperti tidak sabaran jika melihat hal-hal yang dianggapnya tidak benar, kerap membikin merah kuping orang-orang yang kena sentil.
Saya sendiri suka menyebut Mas Rizal Ramli sebagai aktivis tiada henti, dan guru yang baik.
Karena sejatinya Mas Rizal Ramli adalah guru. Bahkan kadang-kadang saya suka berpikir lebih baik ia menjadi Menteri Pendidikan saja, sekaligus tokoh yang sangat memahami masalah ekonomi.
Bangsa ini memerlukan orang yang memiliki visi besar untuk perubahan yang lebih baik. Dan itu hanya bisa ditempuh dengan memiliki sumber daya manusia dengan kualitas pendidikan yang baik.
Hanya melalui pendidikan yang baik, bangsa ini mampu berubah. Domain kebijakan strategis bidang pendidikan ada di wilayah Kementerian Pendidikan. Saya meyakini Mas Rizal Ramli mumpuni untuk mempercepat perbaikan pendidikan bangsa ini.
Tahun 1993 ketika saya diajak membangun Econit, sebuah lembaga think tank ekonomi pertama di Indonesia, saya merasa banyak sekali belajar kepadanya.
Hal yang paling saya rasakan adalah Mas Rizal Ramli memiliki kesabaran dalam membimbing para yuniornya.
Ketelitian terhadap angka, misalnya, adalah salah satu bagian yang saya kagumi darinya, yang bagi sebagian orang mungkin sering terabaikan.
Begitu pula terhadap pilihan kata-kata. Dia memiliki diksi yang cukup kaya, sehingga mampu menyampaikan pesan secara tajam.
Ini bisa dipahami, karena Mas RIzal Ramli pernah menjadi pemimpin redaksi jurnal sosial, ekonomi, politik, dan budaya, Prisma, yang dikenal sebagai jurnal yang kredibel, terbitan LP3ES, Jakarta.
Sebagai guru yang baik, dia tidak ingin para yuniornya hanya mengejar kecerdasan intelektual. Ia juga peduli terhadap kesehatan fisik timnya, sehingga kegiatan fisik menjadi bagian yang setengah wajib bagi kami di Econit.
Kami misalnya mengundang guru olah raga yoga untuk memfasilitasi olah raga dan olah rasa yang diperuntukkan bagi semua staf.
Olah raga lainnya adalah catur untuk mengasah logika. Bagi Mas Rizal Ramli ketahanan fisik menjadi bagian penting untuk siapa pun yang ingin meraih cita-cita ideal.
Pernah kami semua harus mengerjakan sesuatu tidak tidur selama 24 jam. Setelah 24 jam kami segera tidur, tapi setelah itu Mas Rizal Ramli malah membuka papan catur dan mengajak bermain catur.
“Ini tes fisik, apakah dalam kelelahan kalian masih memiliki kemampuan untuk fokus atau tidak,” kira-kira begitu katanya, saat itu.
Bahwa Mas Rizal Ramli dikenal cerdas di bidangnya, ahli dalam makro ekonomi, tidak diragukan oleh banyak kalangan di dalam dan di luar negeri.
Faktanya pula policy paper yang biasa dikeluarkan oleh Econit banyak dijadikan referensi di dalam dan luar negeri.
Ia juga menjadi penasehat ekonomi di beberapa lembaga multilateral di dalam dan luar negeri. Tapi Mas Rizal Ramli adalah orang yang selalu menempatkan diri sebagai non partisan.
Saya menangkap kesan kuat bahwa ia ingin Pancasila dan Kebhinekaan hidup di dalam dirinya dan di antara kita semua.
Dalam konteks ini ia mampu menjalin persahabatan dengan semua kelompok masyarakat, termasuk dengan kelompok minoritas, suku, etnis, dan agama. Bahkan persahabatannya dengan tokoh-tokoh dari mancanegara sangat terjaga dengan baik.
Persahabatannya terdiri dari beragam jenis orang, dari yang memiliki kecerdasan tinggi hingga yang kurang berpendidikan. Semuanya ia jalankan secara tulus.
Saya masih ingat Mas Rizal Ramli pernah berkata, kalau kita berbuat kebaikan jangan menggunakan syarat
Just do it, tegasnya.
Ini saya ingat sampai sekarang dan saya berterimakasih serta merawat perkataannya itu untuk diri saya dan orang-orang terdekat saya.
Belajar ikhlas dalam berbuat dimulai dari hal-hal yang paling kecil, dan jangan pedulikan omongan orang.
Mas Rizal Ramli bukan spiritualis, tapi ia adalah guru, yang menyemai benih-benih kebaikan kepada banyak orang, yang jika kebaikan itu berkembang akan membuahkan kebaikan berikutnya. Begitu seterusnya.
Bangsa ini memerlukan orang-orang ikhlas dalam bertindak, jujur dalam pikiran, perkataan, dan perbuatan, meskipun sering terasa pahit untuk diterima.
Saya belajar dan berutang banyak kepada Mas Rizal Ramli untuk mendapatkan nilai-nilai sejati dalam hidup dan kehidupan.
[***]