Artikel ini merupakan kesaksian Laksamana Madya (Purn) TNI-AL, Abu Hartono.
Waktu saya mulai menjabat Ketua Fraksi ABRI di DPR RI, sekitar tahun 1993, yang membawahi para anggota Fraksi ABRI, mulai dari yang berpangkat bintang dua sampai yang berpangkat kolonel dari berbagai angkatan, saya mulai intens mengikuti pemikiran-pemikiran ekonomi yang disampaikan oleh Rizal Ramli.
Saya adalah satu-satunya Ketua Fraksi ABRI yang berasal dari TNI Angkatan Laut. Saya masuk ke DPR atas perintah atasan, yaitu Pangab Jenderal TNI-AD Try Sutrisno (yang kemudian menjadi Wakil Presiden RI).
Waktu itu secara cukup rutin saya juga mengikuti pandangan-pandangan dan penyikapan Rizal Ramli terhadap isu-isu ekonomi yang sedang aktual, yang disampaikannya secara kritis berdasarkan angka-angka dan bersifat obyektif.
Lembaga pemikiran ekonomi yang dipimpinnya saat itu juga cukup terkenal, yaitu Econit (Economic, Industry, and Trade).
Lembaga ini kami anggap sebagai salah satu rujukan penting, karena memberikan masukan yang sangat bermanfaat. Semuanya itu berisi pandangan-pandangan Rizal Ramli mengenai bagaimana seharusnya sebuah kebijakan ekonomi yang sedang dijalankan oleh pemerintah dapat mencapai hasil yang ideal, yang disertai juga dengan solusi-solusinya.
Saya perlu mengikuti pendapat-pendapat para ahli ekonomi saat itu, karena pada masa itu kami benar-benar terlibat dalam menjaga stabilitas dan pertumbuhan ekonomi nasional.
Saya kemudian jadi tertarik dengan pemikiran-pemikiran dan analisis ekonomi yang disampaikan oleh Rizal Ramli, yang dalam banyak hal ternyata memang terbukti benar.
Akhirnya sebagai Ketua Fraksi ABRI saya cukup sering bertemu dengan Rizal Ramli untuk berdiskusi mengenai persoalan-persoalan perekonomian nasional saat itu.
Sayalah yang kemudian meminta kepada Mabes ABRI supaya Rizal Ramli dijadikan penasihat bidang ekonomi untuk ABRI. Karena saya cocok dengan pemikiran-pemikiran ekonominya yang pro kerakyatan. Walaupun dia dianggap cukup vokal, dikenal kritis, dan berani.
Maklum waktu itu kan suasananya apa-apa tidak boleh terlalu keras kepada pemerintah. Tapi pemikiran dan pandangan-pandangan ekonomi Rizal Ramli kami butuhkan. Karena dia obyektif. Argumentasinya selalu berdasarkan data dan angka-angka.
Saat saya jadi Duta Besar RI di Filipina (1995-2000) hubungan kami yang tergolong akrab sempat terputus. Tetapi kontak-kontak (komunikasi) saya yang bersifat non formal dengan Rizal Ramli tetap berjalan.
Selama memimpin Fraksi ABRI saya selalu mengontak Rizal Ramli untuk meminta pendapatnya kalau sedang terjadi persoalan-persoalan ekonomi yang sangat penting. Karena warna ekonomi Rizal Ramli dengan saya sangat cocok.
Pada masa itu di tengah banyaknya persoalan-persoalan ekonomi nasional pendapat-pendapat Rizal Ramli saya rasakan sangat berguna sekali.
Selama sekitar 30 tahun bertugas di pemerintahan Soeharto saya merasa secara umum persoalan ekonomi nasional dapat ditangani secara cukup baik. Kebijakannya tidak ada yang aneh-aneh, misalnya tidak seperti sekarang ribut-ribut soal kelangkaan minyak goreng, soal kedelai, batu bara, dan lainnya.
Menteri Perdagangan saat ini seharusnya punya kemampuan untuk mengevaluasi. Seharusnya hal-hal yang bisa menyengsarakan rakyat seperti itu mampu dihindari.
Dalam persoalan minyak goreng misalnya, negara kita adalah yang terbesar memiliki perkebunan kelapa sawit. Demikian juga batu bara, kita kan eksportir besar.
Itulah sebabnya waktu itu kami terbuka terhadap berbagai pandangan yang disampaikan oleh para ahli ekonomi. Tapi Rizal Ramli itu nomor satu yang harus kami dengar saat itu, karena kami percaya kepada reputasi dan obyektivitasnya.
Alhamdulillah, hubungan saya dengan Rizal Ramli masih tetap terjalin dengan baik. Beliau masih mengingat saya sebagai sahabat, saya pun demikian. Sehingga di antara kami ada rasa kekeluargaan.
Saya masih ingat saat istri Rizal Ramli wafat, saya dan istri datang bertakziah ke rumahnya. Saya tetap menaruh empati yang cukup besar kepadanya sebagai seorang ahli ekonomi yang sangat menguasai bidangnya, yang pemikiran-pemikiran dan perbuatannya masih sangat dibutuhkan oleh bangsa dan negara sampai saat ini.
[***]