KAMIS, 29 November 2018, 113 narapidana Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Banda Aceh dikabarkan melarikan diri setelah sebelumnya terjadi kerusuhan di dalam Lapas.
Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mencatat, kejadian serupa bukanlah yang pertama kali terjadi, baik di Lapas klas IIA Banda Aceh maupun Lapas lainnya, dan ICJR kembali mengingatkan Pemerintah untuk segera melakukan langkah-langkah yang dapat mengatasi ‘overcrowding’ sebagai sumber utama terjadinya peristiwa-peristiwa seperti ini jika tidak ingin ada kejadian yang sama di kemudian hari. Salah satunya mengedepankan mekanisme keadilan restoratif.
Berdasarkan berita yang dilansir oleh media online, 113 narapidana Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Banda Aceh dikabarkan melarikan diri pada Kamis, 29 November 2018 sekitar pukul 18.00 WIB. Kabarnya, sebelum peristiwa kaburnya narapidana ini terjadi, beberapa narapidana terlibat kerusuhan di dalam Lapas.
Hingga saat ini belum diketahui apa penyebab dari kerusuhan ini. Berdasarkan beberapa pernyataan pihak yang bertanggungjawab atas kelembagaan pemasyarakatan, kerusuhan dan kaburnya narapidana ini diduga karena tidak terima dengan standar operasional prosedur yang ditetapkan oleh kepala Lapas.
Lapas Klas IIA Banda Aceh dihuni oleh 701 narapidana dengan kapasitas 800 orang. Meskipun tidak tergolong sebagai Lapas yang mengalami ‘overcrowding’, namun dapat dikatakan kepadatan di Lapas Klas IIA Banda Aceh sudah tergolong tinggi atau dapat dikategorikan crowded, sebab angka kepadatannya sudah mencapai 88%.
Tingginya kepadatan Lapas ini, menjadikan konflik antar narapidana di dalam Lapas menjadi rentan terjadi. Konflik dapat timbul dari masalah-masalah kecil yang kemudian tidak dapat diatasi dengan baik oleh satuan pengamanan sebab kurangnya jumlah sumber daya manusia yang ada. Berdasarkan data SDP Dirjenpas, jumlah sumber daya manusia pengamanan di Lapas IIA Banda Aceh hanyalah 52 orang.
Namun, 52 sumber daya yang ada ini pun kemudian dibagi waktu untuk melaksanakan tugasnya. Dilaporkan oleh beberapa media bahwa ketika kejadian kaburnya narapidana berlangsung, hanya terdapat 10 penjaga yang sedang bertugas. Artinya di malam itu, setiap 1 orang penjaga bertanggung jawab untuk mengawasi hampir 70 orang narapidana.
Kondisi ini tentu saja tidak ideal, sebab idealnya, 1 orang penjaga seharusnya hanya mengawasi maksimal 10 orang untuk kemudian dapat melaksanakan tugasnya dengan baik dan mengantisipasi jika terjadi keributan sedemikian rupa.
ICJR menilai, kondisi ini akan terus berlangsung jika Pemerintah tidak segera mengatasi akar permasalahan dari seluruh permasalahan yang melingkupi Rutan dan Lapas di Indonesia, yakni ‘overcrowding’. Semakin banyak orang yang harus mendekam di Rutan dan Lapas, maka semakin banyak pula Negara harus mengeluarkan anggaran untuk menyediakan sumber daya manusia supaya hal-hal seperti ini tidak terus-menerus terjadi.
Pemerintah dan DPR sebagai pemangku kebijakan yang memiliki kewenangan untuk membentuk peraturan perundang-undangan harus dengan serius membahas mengenai alternatif-alternatif non pemenjaraan yang ada untuk pelaku tindak pidana dan mengubah arah kebijakan hukum pidana Indonesia yang cenderung punitif sekarang ini ke arah yang lebih restoratif.
Saat ini, sebagai catatan, Rancangan KUHP hanya memuat 3 (tiga) bentuk alternatif pemidanaan non pemenjaraan yaitu denda, pidana pengawasan dan pidana kerja sosial, angka yang sangat kecil dibandingkan hampir 20 (dua puluh) mekanisme pemidanaan non pemenjaraan yang tersebar di seluruh dunia.
Selain itu, terkait hal yang berulang terjadi seperti ini, ICJR merekomendasikan beberapa hal. Pertama, Pemerintah harus segera membentuk tim investigasi untuk melihat apa sebenarnya akar permasalahan dari kerusuhan tersebut. Sehingga kerusuhan serupa dapat diantisipasi dan dicegah serta tidak menjadi kejadian yang berulang-ulang.
Kedua, Pemerintah dan DPR sebagai pemangku kebijakan yang memiliki kewenangan untuk membentuk peraturan perundang-undangan harus dengan serius membahas mengenai alternatif-alternatif non pemenjaraan yang ada untuk pelaku tindak pidana. Selain itu, Pemerintah dan DPR juga harus mulai untuk mulai melirik perombakan kebijakan pidana yang sangat punitif dengan pendekatan penjara ke arah restoratif yang lebih mengedepankan penyelesaian pemulihan.
Ketiga, meminta Pemerintah dan Aparat penegak hukum serta hakim mulai mengoptimalisasi mekanisme keadilan restoratif dengan aturan yang sudah ada. Misalnya mengoptimalkan Rehabilitasi dan pidana percobaan untuk para pengguna rekreasional, coba pakai, situasional, pecandu dan pengguna, sehingga dapat menekan angka pemenjaraan.
Oleh Anggara, Direktur Eksekutif ICJR