MEGA proyek pembangunan kereta cepat (high speed train) Jakarta-Bandung adalah episode lanjutan dari beberapa kebijakan pemerintah era Jokowi saat ini. Bicara soal visi ke depan, semua program pasti punya tujuan dan hasil yang positif bagi kepentingan umum.
Namun tanpa mengurangi rasa hormat dan menegasikan hal tadi rasanya Mega proyek pembangunan Kereta Cepat ini harus dikaji ulang kembali, apakah tepat dan memang menjadi bagian yang harus diprioritaskan.
Bila dilihat, bukankah kebijakan Kereta Cepat ini bertentangan dengan apa yang menjadi prioritas Jokowi awal, yang juga bisa dikatakan sebagai janji pemerintahan Jokowi-JK. Perspektif kepemimpinan Jokowi yang memiliki visi pembangunan Poros Maritim sebagai prioritas nasional. Seharusnya Presiden Jokowi lebih fokus dan konsisten dengan visi yang sangat bermartabat ini.
Jujur saja, pendapat saya bahwa mega proyek kereta cepat Jakarta-Bandung jelas sebuah ‘missed the point completely’. Konsep maritim Indonesia adalah konsep Jokowi yang ditunggu implementasinya oleh rakyat.
Bila dilihat dari segi yang lain, bahwa kita ini bangsa “alon-alon asal klakon”, “biar lambat asal selamat, takkan lagi gunung dikejar” dan gunung yang dikejar itu di Bandung!
Jadi secara konseptual, kultur, dan teknis sekalipun, kereta cepat ke Bandung itu salah alamat (missed the point completely) atau tidak relevan dengan konsep bernegara kita secara integral, kekinian dan ke-Indonesiaan.
Banyak spekulasi yang berkembang ditengah masyarakat terkait mega proyek senilai USD5,5 miliar atau Rp76 trilliun ini. Ada pro dan kontra terkait hal ini, saya pribadi saat ini masih menyanksikan kebijakan ini.
Pemerintah harus mengkaji ulang kembali, sekaligus mengembalikan visi poros maritim pada tempat sejatinya dalam pemerintahan. Bangunlah infrastruktur untuk daerah-daerah yang belum memiliki jalan setapakpun, bangunlah jembatan-jembatan penyebrangan sungai-sungai supaya anak-anak kita jangan lagi naik perahu atau menggantung di tali jembatan hanya untuk pergi ke sekolah.
Kalau mau membangun transportasi kereta api, fokuslah ke proyek kereta api di Kalimantan, Sulawesi, dan di Papua.
Hal yang harus di kritisi lainnya antara lain adalah pernyataan Menteri Negara BUMN yang menyebutkan ini murni bisnis (business to business), sedangkan fakta dalam prakteknya melibatkan BUMN?
Bukankah kekayaan negara yang ada di BUMN ini bagian dari keuangan negara yang dijamin Undang-undang. Pemerintah harus mampu memahami pasal 33 UUD 45 dengan baik. Jika menurut logika sederhana saja dapat, kita gunakan berdasar juga kepada memori dan pemahaman sejarah kita yang kuat, seharusnya persoalan ini bukanlah berada di wilayah abu-abu.
Sehingga Pemerintah sebagai pengelola dana tidak boleh main-main dalam menentukan perencanaan pembangunan terhadap infrastruktur. Manfaat dari aset negara ini harus terdistribusi secara merata dalam bentuk kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia, bukan kesejahteraan golongan atau kesejahteraan asing.
Mega proyek Kereta Cepat yang melibatkan BUMN ini bukanlah ‘an sich business to business’. Jangan tipu-tipu karena secara konstitusional ini adalah wilayah negara, oleh karena itu rakyat berhak mengerti, mengkritisi bahkan beraksi jika itu merugikan kepentingan bangsa.
BUMN adalah milik negara dan negara yang menjamin eksistensi semua BUMN, jadi tidak bisa masuk ke pola hubungan Business to Business.
Apabila tujuannya hanya untuk efesiensi waktu sehingga mendukung mobilitas kehidupan perekonomian kota Bandung-Jakarta beserta beberapa daerah penghubung lainnya, rasanya sangat kurang tepat. Karena faktanya jalur transportasi antara kota Bandung-Jakarta sudah banyak alternatif, dengan transportasi yang sudah ada saat ini apakah dengan jalan Tol Cipularang, kereta api dan pesawat terbang Jakarta-Bandung masih belum cukup.
Oleh Dodi Prasetya Azhari, Ketua Umum Suara Kreasi Anak Bangsa (SKAB)