PELETAKAN batu pertama mega proyek pembangunan kereta cepat (high speed train) Jakarta-Bandung oleh Presiden Jokowi pada tanggal 21 Januari 2016 harus dicermati dengan kritis.Â
Proyek yang menelan biaya sekitar USD 5,5 miliar atau sekitar Rp76 triliun ini sangat patut dicurigai, jangan sampai rakyat yang menanggung beban kerugian.
Ada beberapa hal yang harus kita cermat. Pertama, di tengah pertumbuhan ekonomi yang melambat dan kesenjangan ekonomi yang masih lebar di Indonesia, apakah uang sebesar Rp76 triliun yang didapat lewat pinjaman dari China Development Bank ini sangat penting digunakan untuk proyek kereta cepat Jakarta-Bandung?.
Kita tahu akses antara kota Jakarta dan Bandung sudah cukup terkoneksi oleh kereta konvensional, pesawat dan jalur tol. Jarak kota Jakarta-Bandung juga kurang lebih hanya 150 km, sedangkan kereta cepat sejatinya menempuh 350 km/jam. Artinya ada ketidakmanfaatan dan efektifitas kereta cepat.
Sungguh terlihat sangat mubazir uang dari utang itu digunakan untuk proyek yang tidak memiliki efek optimal dalam peningkatan pertumbuhan ekonomi. Padahal, wilayah Indonesia timur masih banyak yang terisolasi dan buruk infrastrukturnya.
Kedua, kota Jakarta tingkat kemacetannya parah. Hal ini menimbulkan kerugian yang cukup besar bagi pergerakan ekonomi. Moda kereta dalam kota sejatinya menjadi sangat penting. Tapi, sampai saat ini PT KAI belum optimal dalam mengelola jalur commuter line (jalur lintas dalam kota). Kereta kerap telat dan penuh sesak.Â
Padahal, jika jalur kereta lintas dalam kota Jakarta baik, diyakini maka pengguna mobil pribadi sudah tentu akan berpindah menggunakan moda kereta api.
Hal ini tentu akan mengurangi kemacetan yang menimbulkan kerugian berupa; boros energi, melambatkan pergerakan ekonomi dan membuat stres orang Jakarta. Apakah tidak sebaiknya BUMN PT KAI didukung untuk lebih memperbaiki jalur kereta dalam kota di Jakarta, ketimbang membangun proyek bombastis kereta cepat.
Ketiga, secara politis proyek yang didanai lewat utang dari China Development Bank ini tentu tidak dengan gratis diberikan. RRC terlihat sangat ngotot mendorong Indonesia membangun kereta cepat yang notabene belum dibutuhkan.Â
RRC pasti akan meminta proyek ini menggunakan tenaga kerja asing, termasuk yang sifatnya pekerja kasar. Hal ini akan mengkhianati rakyat Indonesia yang masih banyak menganggur. Harusnya di tengah pertumbuhan ekonomi yang lesu, pemerintah lebih fokus membangun proyek padat karya yang tentunya membuat uang lebih banyak mengalir ke publik.
Keempat, Jokowi di masa pilpres mengusung konsep poros maritim, kenapa tidak fokus membangun kekuatan maritim dan kualitas nelayan Indonesia? Kereta cepat Jakarta-Bandung tentu sangat tidak nyambung dengan konsep poros maritim.
Kelima, jika proyek ini mangkrak dan merugi, tentu empat BUMN yang terlibat dalam proyek kereta cepat ini potensi diambil-alih oleh asing akibat bangkrut. Beban utang akan merugikan BUMN yang notabene didanai dari duit rakyat.
Oleh karena itu dari penjelasan di atas, kita patut mempertanyakan sebenarnya proyek kereta cepat Jakarta-Bandung ini untuk siapa? Apakah untuk rakyat atau hanya untuk kepentingan bisnis kelompok tertentu, seperti pengembang perumahan? Kita harus bersama-sama menolak proyek yang tidak urgen, tidak bermanfaat banyak buat rakyat dan sarat kepentingan asing serta pemburu rente lokal.
Oleh Aditya Iskandar, Presidium Solidaritas untuk Pergerakan Aktivis Indonesia (Suropati)