Artikel ini ditulis oleh Anthony Budiawan, Managing Director PEPS.
Proyek kereta cepat berpotensi mangkrak. Pembengkakan biaya proyek akan menjadi sengketa: siapa yang mau menanggung? Pihak China sulit menanggung biaya yang bengkak lebih dari 30 persen, dari 6,07 miliar dolar AS menjadi 8 miliar dolar AS, apalagi kalau tanpa alasan dan perhitungan yang jelas. Bisa-bisa mereka disangka korupsi, dan terancam hukuman mati.
Maka itu, pihak China minta Indonesia yang menanggung seluruh pembengkakan biaya ini: 100 persen. Tapi Indonesia tidak bisa menanggung 100 persen, karena ini proyek patungan (joint venture), di mana kepemilikan Indonesia hanya 60 persen. Menanggung seluruh pembengkakan biaya ini sama saja dengan merugikan keuangan negara, berarti tipikor, tindak pidana korupsi: siapa yang mau jadi korban?
Karena itu, proyek ini terancam dispute berkepanjangan, dengan kemungkinan deadlock, tidak selesai hingga pemilu dan pilpres 2024. Kalau ini terjadi, DPR dan presiden yang akan datang kemungkinan besar akan meninjau ulang proyek ini. Mereka akan minta audit menyeluruh.
Kalau sampai ada indikasi penyimpangan, mungkin pemerintahan yang baru bisa minta proyek dibatalkan, seperti yang terjadi di Malaysia.
Pertanyaannya, siapa yang harus bertanggung jawab: hanya eksekutif, atau eksekutif bersama legislatif?
[***]