Ditulis Oleh : Penulis Senior Farid Gaban
Polisi, tentara, politikus hingga pakar suka bikin jargon dan akronim, istilah-istilah teknis yang rumit dan kabur. Para jurnalis umumnya menelan begitu saja jargon-jargon itu, lalu memuntahkannya kembali ke publik, tanpa mereka sendiri tahu substansinya.
Sebagai contoh, ada banyak jargon ekonomi yang menyesatkan: meski jumlahnya jauh lebih banyak, ratusan triliun rupiah, sumbangan negara untuk pengusaha besar/bankir/konglomerat tidak pernah disebut sebagai SUBSIDI. Sebaliknya disebut dengan istilah-istilah keren seperti “bantuan likuiditas”, “obligasi rekap” atau “tax amnesty”.
Jargon adalah alat efektif menyembunyikan motif dan kebohongan. Kesukaan membuat jargon salah satu ciri sistem yang korup dan tidak demokratis. Kata-kata sulit mencegah masyarakat memahami masalah substantif untuk bisa berpartisipasi dalam kebijakan publik.
Di bawah ini tulisan lama saya tentang bahaya jargon, yang pernah dimuat di Majalah Tempo Edisi 08 Desember 2008.
KERANJINGAN JARGON
Dalam film National Treasure, Benjamin Gates yang diperankan Nicholas Cage mendatangi Gedung Arsip Nasional untuk meminta izin melihat Naskah Proklamasi Amerika. Kepada Abigail Chase, kepala perpustakaan, Gates tak mau berterus terang mengapa dia membutuhkan naskah legendaris itu, yang disimpan dengan pengamanan sangat ketat.
Abigail: Ada apa gerangan dalam naskah itu?
Gates: Kami yakin ada enkripsi di balik naskah itu.
Abigail: Enkripsi?
Gates: Hmm, sebuah kartograf.
Abigail: Peta?
Gates: Ya…
Abigail: Peta tentang apa?
Gates: Lokasi… emm… benda yang memiliki nilai historis dan instrinsik.
Abigail: Peta harta karun?
Ketahuan sebagai pemburu harta karun, Gates gagal meyakinkan Abigail. Dialog ini mewakili sebuah contoh bagaimana kata-kata sulit, seperti enkripsi, kartograf dan intrinsik, dipakai untuk menyembunyikan kejelasan, hal-hal kongkret, serta motif sebenarnya si pembicara.
Di media massa kita, makin hari makin banyak istilah sulit dan kabur seperti itu. Inilah yang kita kenal sebagai jargon, yakni kata atau istilah yang hanya dipahami kalangan tertentu.
Makin banyak tokoh, ilmuwan dan pejabat publik, termasuk presiden dan para menterinya, pamer jargon. Sebagian mereka menganggap jargon, khususnya dalam bahasa asing, bisa mendongkrak kualitas pesan mereka. Tapi, lebih banyak dari mereka sebenarnya hanya ingin menghindar dari berbicara kongkret dan spesifik, serta menyembunyikan motif. Ini makin lazim pada musim kampanye, ketika banyak politisi obral janji namun enggan ditagih kelak.
Lembaga publik, kantor kementrian, asosiasi profesi, polisi, tentara, pakar, dan politisi suka akan jargon. Setiap mereka memproduksi jargon setiap hari. Banyak wartawan, ironisnya, sering mengembangbiakkan jargon tanpa pernah benar-benar paham artinya. Mereka hanya menelan pernyataan sumber berita, lalu memuntahkannya begitu saja di koran, radio dan televisi.
Hari-hari ini, misalnya, media memberitakan ”kejadian luar biasa” demam berdarah yang melanda banyak daerah akibat musim penghujan. ”Kejadian luar biasa” adalah istilah teknis yang hanya dipahami aparat dinas kesehatan dan para dokter. Orang-orang di pasar hanya paham kata ”wabah”.
Tapi, itu hanya satu contoh saja. Ada kecenderungan luar biasa sekarang ini untuk memakai bahasa yang makin rumit dan abstrak, ketimbang bahasa sehari-hari yang kongkret dan bisa dipahami orang banyak.
Itu sebabnya alih-alih memakai ”sekolah ditutup” kita cenderung mengatakan ”kegiatan belajar mengajar dihentikan”. Kita lebih suka menulis ”infrastruktur transportasi terdegradasi” ketimbang ”jalan dan jembatan rusak”; atau menulis ”stasiun pengisian bahan bakar untuk umum” ketimbang ”pompa bensin”. Kita bahkan makin terbiasa mengatakan orang miskin ”mengkonsumsi” nasi aking, bukannya ”makan”.
Siapa pula yang paham ketika Menteri Keuangan mengatakan ”obligasi rekap” dan Menteri Energi mengatakan ”harga keekonomian”? Padahal, kewajiban menteri adalah menjelaskan kebijakan pemerintah sejelas-jelasnya kepada seluruh rakyat, orang-orang di pasar, petani dan nelayan. Pemakaian jargon berjalan seiring dengan sikap tidak transparan, elitis dan korup.
Polisi, seperti juga tentara, adalah lembaga yang cenderung tidak transparan sejak dulu, serta gemar menyelewengkan makna. Ketika seorang pejabat kepolisian mengatakan ”pencuri diamankan”, kita tahu dalam banyak kasus itu artinya ”diinterogasi, dipukuli dan disundut rokok”.
Polisi juga paling keranjingan jargon, yang dikombinasikan dengan akronim, seperti kata ”curat” (pencurian dengan pemberatan) dan ”curas” (pencurian dengan kekerasan), sementara di pasar orang hanya paham: mencuri, mencopet, dan merampok. Sama sekali tidak jelas pula bagi orang di pasar ketika polisi mengatakan ”tersangka di-DPO-kan”.
Kerusakan makin parah karena banyak wartawan lupa pada salah satu tugas pentingnya, yakni mencari kejelasan dari kekaburan. Mereka terbiasa menyerah pada pernyataan kabur, seperti ketika polisi mengatakan ”kami sedang mengembangkan kasusnya.” Apa yang dia maksud ”mengembangkan kasus”? Mengumpulkan bukti, mencari tersangka, melakukan otopsi?
Para wartawan sendiri makin sering memproduksi jargon, mengganti kata sederhana dengan istilah rumit. Kata ”paska” yang merupakan terjemahan dari ”post” dalam jurnal-jurnal ilmiah, misalnya, makin sering dipakai untuk menggantikan kata ”setelah” secara tidak tepat. Jika pernah mendengar judul berita ”beban rakyat bertambah berat pasca-kenaikan harga elpiji”, kita boleh kuatir kelak orang akan mengatakan ”perutku mules paska-makan rujak.”
Meski produk informasi makin banyak dan saluran komunikasi makin luas, jargon justru membuat pesan komunikasi publik makin sulit dipahami. Jargon mengkotak-kotakkan orang, mencegah orang saling memahami, dan mencegah birokrat saling berkoordinasi. Mereka bicara masing-masing dengan bahasa yang hanya dipahami diri sendiri.
Jargon juga alat efektif menyembunyikan motif dan kebohongan. Tidak transparan. Elitis. Korup.
(***)