Artikel ini ditulis oleh Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies).
Setelah 20 tahun lebih, keran ekspor pasir laut akhirnya dibuka kembali oleh Jokowi. Publik patut mencurigai, kebijakan buka keran ekspor pasir laut ini berlatar belakang rente ekonomi, yang menguntungkan segelintir oligarki dengan merusak ekosistem laut.
Pengerukan pasir laut untuk ekspor dengan alasan mengendalikan dan membersihkan sedimentasi di laut tidak dapat diterima sama sekali.
Alasan ini jelas hanya akal-akalan Jokowi dan para antek oligarkinya, demi meraup untung miliaran dolar, tanpa peduli kerusakan ekosistem dan lingkungan hidup laut.
Alasannya, pertama, di penghujung pemerintahannya, Jokowi seharusnya tidak boleh mengambil kebijakan strategis dan kontroversial seperti ekspor pasir laut yang menguntungkan pihak lain atau korporasi, dan secara nyata merusak lingkungan hidup.
Dalam hal ini, Jokowi diduga secara terang-terangan telah menyalahgunakan kewenangannya dengan tujuan menguntungkan pihak lain atau korporasi.
Untuk itu, (kalau terbukti) Jokowi dapat dipidana, seperti bunyi Pasal 3 UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi:
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Kenapa Jokowi nekat menjadi beking para oligarki di penghujung kekuasaannya, yang seharusnya sudah masuk tahap demisioner karena sudah ada presiden terpilih yang akan dilantik pada 20 Oktober yang akan datang?
Kenekatan Jokowi menjelang lengser, patut diduga, Jokowi juga menerima manfaat ekonomi dari kebijakannya yang sangat kontroversial tersebut, yang merusak ekosistem laut dan menguntungkan para oligarki.
Selain kebijakan ekspor pasir laut, Jokowi sebelumnya juga memberi status PSN (Proyek Strategis Nasional) untuk PIK-2 dan BSD, yang membuat penduduk setempat dapat diusir secara paksa. Secara komersial, proyek PSN PIK-2 dan BSD akan memberi keuntungan ratusan triliun rupiah kepada oligarki pengembang kedua kawasan PSN tersebut.
Kedua, kalau alasannya adalah untuk pembersihan sedimentasi laut, maka Jokowi seharusnya menugaskan BUMN atau pemerintah daerah yang berwenang di sepanjang jalur pembersihan sedimentasi laut tersebut untuk melakukan pembersihan sedimentasi di maksud.
Bukan sebaliknya, Jokowi malah memberi payung hukum pengelolaan sedimentasi laut dan izin ekspor pasir laut kepada swasta, dengan keuntungan jutaan sampai milaran dolar.
Oleh karena itu, alasan pembersihan sedimentasi laut yang diserahkan kepada swasta ini secara telanjang mata merupakan alasan mengada-ada, dan merupakan bentuk penyalahgunaan wewenang yang menguntungkan pihak lain, dan merugikan keuangan negara.
Kebijakan ini seyogyanya mendapat perlawanan keras dari masyarakat, dengan melaporkan Jokowi kepada KPK atas dugaan telah melakukan pelanggaran Pasal 3 UU Tipikor di maksud di atas.
[***]