KedaiPena.Com – Kepala Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), Letjen TNI (Purn) Hinsa Siburian menilai bahwa kemajuan teknologi khususnya siber telah digunakan oleh berbagai negara untuk memenangkan persaingan global.
Demikian disampaikan oleh Hinsa saat memberikan kuliah umum bertema “Peran Perguruan Tinggi dalam Cyber Security di Era Revolusi Industri 4.0” di hadapan 500 di Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), Senin,(6/10/2019).
“Di titik itulah, perang sebagai bentuk puncak persaingan antar negara turut berevolusi. Peperangan kini tidak hanya terkait dengan kontak fisik dengan senjata konvensional, peperangan kini telah berkembang menjadi perang siber atau informasi yang berbasis pada pengunaan teknologi informasi dan komunikasi,” ujar Hinsa.
Hinsa melanjutkan, selain menyerang infrastruktur kritikal, kini serangan siber juga menyasar objek-objek yang lebih krusial dengan akibat yang lebih fatal dari sebelumnya.
“Tidak seperti perang konvensional yang menghancurkan infrastruktur fisik, perang siber memiliki daya tembus dan daya rusak yang lebih merusak karena menyasar pola pikir sasarannya sehingga motivasi dan perilakunya berubah,” tutur Hinsa.
Hinsa menjelaskan bahwa kini setiap hari, setiap saat Pancasila sebagai ideologi pusat kekuatan inti sari jati diri bangsa Indonesia yang digali dari akar budaya masyarakat Nusantara khususnya Sila Ketiga di bombardir oleh serangan siber
“Persatuan Indonesia dirong-rong dan dibombardir dengan peluru siber dalam bentuk informasi hoaks. Dengan konten provokatif serta opini penyesatan yang dirancang memicu radikalisasi dan konflik sosial yang berujung pada kerusuhan serta disintegrasi bangsa,” tutur Hinsa.
Hinsa menilai, jika serangan informasi tersebut berhasil mengubah salah satu bagian dari bangsa Indonesia ya know mengganti Pancasila sebagai paradigma berbangsa dan bernegara maka ibu partiwi akan kembali ke titik nol.
“Berkaca pada berbagai kasus seperti kerusuhan, terorisme dan gerakan separatisme seperti yang baru saja terjadi di Wamena misalnya, kini serangan siber yang menyasar aspek non fisik tersebut sudah tidak bisa lagi dipandang sebelah mata. Karena juga berujung pada kerugian harta benda, gelombang ribuan pengungsi dan bahkan jatuhnya puluhan korban jiwa seperti halnya pada perang konvensional,” tegas Hinsa.
“Padahal peluru yang ditembakkan hanya berupa informasi penyesatan atau hoaks yang diikuti dengan konten provokasi terkait isu rasialisme yang sebenarnya tidak pernah benar-benar terjadi,” sambung Hinsa.
Hinsa menjelaskan, serangan siber hanya bisa dibendung setelah seluruh komponen bangsa Indonesia menyadari adanya fakta dan akibat fatal serangan siber pada keutuhan dan kedaulatan bangsa Indonesia.
“Semua pihak termasuk perguruan tinggi harus berkomitmen untuk berkontribusi aktif sesuai dengan peran dan kemampuan masing-masing,” papar Hinsa.
Laporan: Muhammad Lutfi