KedaiPena.Com – Kepala Bappeda DKI Jakarta Tutty Kusumawati ternyata seorang pembohong dan ngawur. Sikap ini meniru bosnya, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahja Purnama alias Ahok yang sering membuat pernyataan tidak sesuai dengan fakta.
“Pada rapat koordinasi terakhir, 30 Juni 2016, saat Menko Maritim dan Sumber Daya memutuskan pembatalan Pulau G, saya dapat informasi bahwa Kepala Bappeda DKI tidak hadir. Dia sedang menjadi saksi Tipikor kasus Sanusi. Saya heran, kok Tutty bisa ngomong ngawur begitu,†ujar Direktur Program Centre for Economic and Democracy Studies (CEDeS), Edy Mulyadi, di Jakarta, Ahad (17/7).
Pernyataan Edy itu disampaikan sehubungan dengan klaim Tutty yang mengatakan, Komite Gabungan Reklamasi tidak pernah menyimpulkan ada pelanggaran berat di Pulau G. Karena itu, tidak ada rekomendasi pembatalan reklamasi. Menurut dia, istilah pelanggaran berat itu diutarakan oleh Menko Maritim dan Sumber Daya Rizal Ramli sendiri saat konferensi pers di kantornya, beberapa waktu lalu.
“Tutty harus tahu, bahwa rekomendasi yang ditampilkan pada Rakor yang dipimpin Safrie Burhanuddin selaku Ketua Tim Komite Bersama Reklamasi Pantai Utara bukanlah final. Rekomendasi itulah yang kemudian dibawa ke Rakor yang dipimpin Menko Maritim dan Sumber Daya Rizal Ramli. Nah, keputusan yang disampaikan Menko adalah keputusan Rapat Komite Bersama,†papar Edy.
Komite Gabungan Reklamasi terdiri atas perwakilan Kementerian Koordinator Kemaritiman, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, serta Pemprov DKI. Tutty adalah salah satu pejabat yang mewakili Pemprov DKI dalam komite tersebut.
Menurut Edy, Safrie menjelaskan kepadanya, bahwa pada awal Rakor Tutty menyatakan bahwa Keppres No.52/1999 yang menjadi dasar bagi Ahok menerbitkan izin reklamasi bersifat lex spesialis. Namun pengacara senior Otto Hasibuan membantah pernyataan Tutty tersebut. Selanjutnya, pada kesempatan itu juga, Tutty meminta maaf dan mengaku memang tidak paham soal hukum.
Safrie mengatakan, lanjut Edy, keputusan menghentikan reklamasi Pulau G secara permanen didasari kajian yang matang dan temuan banyaknya pelanggaran di lapangan. Dari aspek teknis, misalnya, pelanggaran reklamasi Pulau G antara lain karena bersinggungan dengan breakwater Muara Angke, menganggu instalasi pipa gas bawah laut dan pemeliharaannya, dan mengganggu operasi tiga PLTU/PLTGU di Pantai Teluk Jakarta.
Tim Komite Bersama juga menyimpulkan, dari aspek sosial ekonomis reklamasi Pulau G berpotensi memicu konflik dengan alur pelayaran dari dan ke PPI Muara Angka dan penurunan pendapatan, peningkatan biaya operasional dan jarak tempuh nelayan yang semakin jauh.
Sedangkan dari sisi legal, pelanggaran yang dilakukan pengembang untuk pulau G antara lain, melanggar pasal 94 ayat (5) PP No.5/2010 tentang Kenavigasian, terkait zona 500m dari sisi terluar instalasi atau bangunan, melanggar UU No.32/1999 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan pasal 30 dan 31 PP No 61/2009 tentang Kepelabuhanan. Peraturan lain yang dilanggar adalah UU No 7/2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan Pembudidaya Ikan dan Petambak Garam.
“Yang saya sebutkan itu hanya beberapa pelanggaran Pulau G terhadap peraturan dan perundangan yang berlaku. Banyak lagi peraturan dan perundangan yang dilanggar. Jadi, kalau Ahok tetap ngotot berpegang Keppres No.52/1995, tidak salah kalau Menko Maritim minta Ahok jangan kuno. Dia harus berpikir modern. Sudah banyak peraturan yang lebih baru dan lebih tinggi daripada Keppres yang dia sodorkan,†ungkap Edy.
Tentang terganggunya PLTU/PLTGU di Pantai Teluk Jakarta. Secara khusus PT PLN (Persero) telah mengirim surat nomor 0738/KON 00.03/DIRREG-JBB/2016 kepada Surat ke Menteri Kelauatan dan Perikanan. Dalam surat itu, Direktur PLN Murtaqi Syamsuddin mengatakan, sangat khawatir rencana reklamasi di Teluk Jakarta akan mempengaruhi kinerja pembangkit PLN.
Total jumlah kapasitas daya saat ini di PLTU/PLTGU Muara Karang, PLTGU Tanjung Priok, PLTU Muara Tawar sebesar 5.703 MW. Direncanakan ada penambahan kapasitas menjadi sebesar 9.253 MW dengan selesainya PLTGU Jawa-1 sebesar 1.600 MW. Keempat pembangkit tersebut merupakan pasokan daya utama untuk melayani Jakarta.
“Publik harus tahu, bahwa keputusan membatalkan reklamasi pulau G karena memang berbahaya jika dilanjutkan. Kalau sampai, misalnya, terjadi ledakan pada pipa gas bawah laut, atau benar-benar terjadi gangguan terhadap pasok listrik Jakarta karena reklamasi, siapa yang disalahkan? Tentu bukan pengembang atau Pemprof DKI. Publik akan menyalahkan Komite Bersama Reklamasi Pantai Utara Jakarta karena memberi rekomendasi reklamasi pulau G,†ujar Edy.
Sebelumnya Ahok berbohong dengan mengatakan di Teluk Jakarta sudah tidak ada nelayan dan tidak ada ikan lagi. Namun ketika Menko Rizal Ramli mengkonfirmasi kepada nelayan di Muara Karang, ternyata informasi ini tidak benar.
Di awal-awal reklamasi, kepada media Ahok juga pernah berbohong Rizal Ramli tidak keberatan dengan reklamasi. Begitu juga dengan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya. Bahkan, dia juga berani mengatakan Presiden Jokowi setuju dengan reklamasi. Ternyata semua itu bohong dan hanya klaim Ahok secara sepihak.
(Prw)