Artikel ini ditulis oleh Achmad Nur Hidayat, MPP, Ahli Kebijakan Publik dan Ekonom UPN Veteran Jakarta.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) baru-baru ini mengumumkan bahwa rencana untuk mulai berkantor di Ibu Kota Nusantara (IKN) pada Juli 2024 harus ditunda karena masih menunggu ketersediaan infrastruktur penting seperti air dan listrik.
Jokowi mengungkapkan bahwa meskipun pembangunan Kantor Presiden sudah mencapai sekitar 80 persen, sambungan air dari Bendungan Sepaku Semoi belum siap sepenuhnya, dan masih diperlukan pemasangan pompa untuk distribusi air.
Penundaan ini memperlihatkan bahwa proyek IKN memang menghadapi banyak tantangan sejak awal.
Berbagai pakar, para guru besar, dan akademisi telah mengkritik rencana ini sebagai tidak matang dan tidak memperhatikan aspek keberlanjutan fiskal.
Hambatan seperti keterlambatan infrastruktur dasar mengindikasikan kurangnya perencanaan yang mendalam dan eksekusi yang tepat waktu. Ini sejalan dengan kritik bahwa pembangunan IKN sering kali terkesan sebagai proyek personal Presiden Jokowi yang ambisius namun tidak realistis dalam jangka waktu yang ditetapkan.
Respons Presiden yang seolah-olah menyalahkan bawahannya atas keterlambatan ini juga menunjukkan kurangnya tanggung jawab dari pimpinan tertinggi.
Sebagai seorang pemimpin, penting bagi Presiden untuk mengambil tanggung jawab penuh dan memberikan solusi yang konkret daripada sekadar optimisme yang tidak didukung oleh realitas lapangan.
Kritikan ini perlu dijadikan bahan introspeksi bagi pemerintah agar lebih berhati-hati dalam merencanakan dan mengeksekusi proyek-proyek besar di masa depan.
Optimisme yang Jauh dari Realitas
Sejak awal, rencana pemindahan ibu kota ke IKN telah menghadapi kritik dari berbagai pihak.
Banyak pakar menilai bahwa proyek ini tidak matang, tidak realistis, dan mengabaikan aspek keberlanjutan fiskal.
Kritik ini tampaknya tidak cukup didengar, karena ambisi pribadi Presiden Jokowi yang ingin meninggalkan warisan berupa ibu kota baru tampak lebih dominan.
Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa proyek ini penuh dengan hambatan dan tantangan.
Presiden Jokowi telah menyatakan bahwa banyak investor tertarik untuk berinvestasi di IKN, dan ini dibuktikan dengan peletakan batu pertama beberapa infrastruktur penting seperti gedung BI, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan bank-bank pemerintah.
Namun, optimisme ini tidak sejalan dengan realitas di lapangan. Ketersediaan air dan listrik, dua kebutuhan dasar untuk operasional ibu kota baru, masih menjadi masalah besar.
Meskipun Bendungan Sepaku Semoi telah diresmikan, distribusi air belum optimal karena membutuhkan pemasangan pompa tambahan. Instalasi listrik juga belum sepenuhnya siap.
Kemunduran Kepala Otorita IKN Bambang Susantono dan wakilnya, Doni Rahayu, adalah bukti nyata bahwa proyek ini menghadapi masalah serius.
Pengunduran diri ini menimbulkan kekhawatiran mengenai keberlanjutan proyek dan kemampuan pemerintah untuk mengatasi berbagai hambatan yang ada.
Penunjukan Basuki Hadimuljono sebagai Plt Kepala Otorita dan Wamen ATR Raja Juli sebagai Plt Wakil Kepala terbukti tidak dapat menyelesaikan masalah mendasar yang telah diidentifikasi sejak awal.
Pelajaran untuk Pemimpin Masa Depan
Proyek IKN menunjukkan betapa pentingnya perencanaan yang matang dan mendengarkan masukan dari para ahli.
Sejak awal, berbagai pakar telah mengkritik proyek ini sebagai tidak matang, tidak realistis, dan mengabaikan aspek keberlanjutan fiskal.
Namun, kritik ini sering kali diabaikan demi ambisi pribadi presiden yang ingin mewujudkan ibu kota baru.
Pelajaran yang dapat diambil dari kenyataan pahit ini adalah bahwa pemimpin masa depan harus lebih memperhatikan masukan dari para ahli perencanaan dan tidak mengorbankan dana publik untuk ambisi pembangunan pribadi. Transparansi, akuntabilitas, dan perencanaan yang baik harus menjadi dasar dalam setiap proyek pemerintah yang berskala besar. Pengunduran diri pimpinan OIKN adalah sinyal kuat bahwa proyek ini membutuhkan evaluasi menyeluruh dan perencanaan ulang yang matang.
Ambisi pribadi Presiden Jokowi dalam proyek IKN telah mengorbankan sumber daya keuangan publik yang diambil dari pajak rakyat. Ini menimbulkan pertanyaan mengenai keputusan politiknya dan tanggung jawabnya terhadap triliunan dana APBN yang telah diinvestasikan di sana.
Publik di masa depan seharusnya dapat mengevaluasi dan meminta pertanggungjawaban atas keputusan yang terburu-buru ini, yang dapat mengakibatkan beban finansial besar bagi negara.
[***]