Artikel ini ditulis oleh AJ. Purwanto, Pemerhati Lingkungan.
Di Tempursari, Sardonoharjo, Kapanewon Ngaglik, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta ada “Sekolah Air Hujan Banyu Bening” yang mungkin satu-satunya di Indonesia bahkan di dunia.
Sekolah ini diresmikan di 9 September 2019 oleh “Komunitas Banyu Bening” yang diketuai oleh seorang wanita bernama Sri Wahyuningsih (Yu Ning).
Komunitas ini mulai mengkampanyekan Air Hujan sejak 2012 hingga sekarang. Komunitas ini mempunyai tradisi “Kenduri Banyu Udan” yang menjadikan sebuah nilai budaya yang ditinggalkan oleh leluhur sebagai rasa syukur atas apa yang telah diberikan Sang Pencipta untuk “Ngopeni” (merawat, memelihara, menyimpan, atau mengasihi, melestarikan).
Kenduri Banyu Udan adalah tradisi yang dilakukan untuk mengungkapkan rasa syukur atas nikmat air hujan yang diberikan Tuhan Yang Maha Kuasa. Tradisi ini juga bertujuan untuk mengingatkan masyarakat akan budaya nenek moyang.
Yu Ning menyampaikan bahwa air hujan sumber air kehidupan,sumber air yang ada di Bumi. Kita manusia harus empati kepada makhluk hidup lainnya yang lebih dulu di ciptakan.
Maka dari itu melalui Kenduri Banyu Udan IX dengan Tema “Selaras dengan Semesta” menjadikan sebuah Ritual Sakral yang di kemas dalam prosesi kirab Bregada oleh “Onggo Dwipo” sebagai Prajurit Keraton.
Mengharukan sekali saat Gladi Resik dilaksanakan dari sore hingga malam yang menjadikan kesan yang mendalam ketika Hujan turun masih tetap para penari hujan-hujanan bahwa inilah sebuah rasa syukur yang tak bisa di ungkapkan nya.
Para penari fokus pada Gladi Resik yang di bawa naungan ke-9 “Sanggar Banyu Bening” dengan Koordinator oleh Elizabeth Panti.
Sanggar Banyu Bening ini ternyata masuk dalam 23 terpilih dari sekian banyak Sanggar di Indonesia yang di percayai dalam pembuatan Film Dokumenter “Dolanan Anak” dari Balai Pelestari Budaya Wilayah 10.
Ini sangat luar biasa dan mematik bagaimana untuk memajukan dan menjadikan nilai budaya jauh lebih berarti dan terus di kembangkan oleh anak keturunan nantinya.
Harapan besar sinergi kepada semua pihak untuk berpartisipasi demi menjaga kelestarian budaya atas kearifan lokal di Tempursari ini.
Kenduri ini di gelar selama 3 hari sejak tanggal 7 September 2024 menghadirkan Habib Zaky Assegaf bersama Majelis Sholawat Az Zaky nya.
Dan Komunitas Banyu Bening sendiri juga mempunyai Majelis Sholawat juga yang bernama “Majelis Sholawat Banyu Bening” yang di Ketua Kamaludin juga sebagai Panitia Kenduri Banyu Udan IX 2024.
Ada juga Hadroh Al Hidayah jamaah ibu-ibu warga Tempursari, tampil sebelum Habib memberikan Tausiyah.
Di hari berikutnya (8/9/2024) Khataman Al Qur’an dari Pondok Pesantren Baitul Qur’an Karanglo. Kegiatan membaca Al-Qur’an dari awal hingga akhir, sesuai dengan urutan surah di dalam mushaf Al-Qur’an. Kata “khatam” berasal dari bahasa Arab yang berarti “membaca hingga akhir”, “membaca seluruhnya”, dan “menamatkan”.
Di Puncak Kenduri Pembina Sekolah Air Hujan Banyu Bening Drs. Pangarso Suryotomo, MMB menegaskan untuk meyakinkan bahwa komunitas ini non profit dalam arti keuntungan atau laba, tapi nilai silaturrahmi yang terpenting untuk memberikan makna hidup penuh arti dengan hati.
Perlu di ketahui untuk menjadi introspeksi dan empati bahwa air hujan tidak diperuntukkan untuk manusia, ada makhluk hidup lainnya yang harus dipikirkan karena manusia diciptakan di akhir, setelah semua tercipta seperti tanaman, hewan, gunung, bukit dan lain-lainnya.
Di penghujung acara dilakukan Ngopi atau Ngobrol Inspirasi. Pembina yang juga menjabat sebagai Direktur Kesiapsiagaan BNPB yang di dunia Rlrelawan adalah panglima-nya relawan menyampaikan sinergi pentahelix.
Hal ini harus benar-benar diwujudkan sebagai aksi mitigasi, di mana yang selama ini terjadi saat kemarau harus dropping air dan saat hujan menyebabkan banjir, longsor.
Kita harus bahu-membahu untuk suatu perubahan agar masyarakat sejahtera, makmur sesuai Pasal 33 ayat (3) menyatakan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
[***]