FILM pendek durasi 7 menit14 detik berjudul “Kau Adalah Aku yang Lain” dan di-share Divisi Humas Polri pada 24 Juni 2017 sebagai kado Idul Fitri, ternyata menuai banyak kecaman dan respons negatif dari masyarakat.
Kenapa? Karena polisi menayangkan sebuah film sesat yang di dalamnya sarat nada tendensius ejekan, ujaran kebencian, dan menjelekkan umat Islam. Luar biasa kekonyolan polisi.
Sebagai institusi resmi yang men-share film pendek itu, tentu sudah memperhitungkan sasaran dan dampaknya. Tapi sayang, cuma menggunakan nalar pendek dengan kaca mata politik kepentingan kelompok tertentu dan berusaha kejar tayang, tanpa mempertimbangkan marwah kehormatan polisi sendiri yang sudah berada pada ambang titik nadir keamburadulan.
Film ‘berbau’ provokasi SARA hasil lomba Police Movie Festival 2017 ini, mengingatkan umat Islam pada film iklan untuk mendongkrak Ahok-Djarot pada Pilkada DKI yang lalu, di mana juga digambarkan ulah umat Islam yang intoleran, antikebhinnekaan, dan suka kekerasan.
Rupanya polisi begitu pendek ingatan, sehingga lupa dan berbuat salah serupa. Apakah ini kecerobohan polisi sendiri atau memang ada setting tersendiri demi memperlihatkan loyalitas kepada pihak tertentu, sehingga berani tampil beda dan bersedia menari di atas ‘gendang’ kelompok lain? Aneh, polisi berani men-share film yang substansinya jauh dari nuansa nalar kewarasan.
Memang selama ini pihak ‘anu’ dengan sengaja dan intens sering men-setting dan menyulut kegaduhan via media mainstream yang sudah di ‘tangannya’. Tentu dengan harapan, agar bisa memancing umat Islam berbuat gaduh dan ujungnya bisa gampang digebuk.
Ternyata umat Islam tampil semakin dewasa, cerdas, dan tidak mudah terhasut, meski terus diuji provokasi dan fitnah. Sikap ini, justru membuat abdi negara yang selama ini sudah dikenal akrab dengan kelompok tertentu itu, menjadi penasaran dan pusing tujuh keliling.
Modus dan celah pun terus dicari, agar bisa beralasan untuk menjinakkan umat Islam yang selama ini berseberangan dengan pemerintah berkuasa. Akibatnya, polisi terus berusaha berjarak, bahkan berani memusuhi umat Islam dan berupaya tampil sebagai hero di hadapan penguasa, meski taruhannya merusak harmonisasi kehidupan umat beragama dan merusak citra polisi di tanah air. Ada apa?
Polisi sudah lupa dengan sumpah Tribrata yang harus melindungi, melayani, dan mengayomi seluruh rakyat Indonesia tanpa melihat SARA-nya. Apalagi, belakangan kelihatan tambah panik, seusai ‘jagoannya’ yang dikenal kontroversial itu, menelan pil pahit dua kali, keok dalam Pilkada Jakarta 2017 kemudian dijatuhi putusan pengadilan sebagai penista agama yang harus berakhir di penjara-penjaraan Korps Brimob, Kelapa Dua, Depok.
Pertanyaan pertama, siapa di balik share resmi film ini? Masyarakat perlu tahu, karena ini terkait komitmen dalam membangun Indonesia yang damai, toleran, berbhinneka, pro Pancasila, dan NKRI yang sering didengung-dengungkan. Sementara, fakta tergambar dalam film itu justru sebaliknya, cenderung provokasi memecah-belah, dan adu domba umat beragama.
Polisi seharusnya sebagai ujung tombak dalam membangun kamtibmas di tengah masyarakat heterogen bertindak komunikatif dan memahami kultur yang ada. Siapa yang harus bertanggung jawab atas kasus ini? Kaitan ini, tentu Kapolri, sebagai penanggung jawab tertinggi instansi penyebar resmi film fiktif itu dan dapat menjelaskan kepada khalayak mengenai duduk perkaranya, sehingga terang benderang tidak ada kecurigaan satu dengan yang lainnya.
Bukan rahasia lagi, polisi selama ini tidak bersahabat dengan mayoritas umat nusantara, karena ulahnya yang nyata selalu miring ke ‘kiri’. Sehingga, semakin membakar hati kebencian umat Islam. Fakta berbicara, polisi sering memancing di air keruh dengan menyudutkan umat Islam dan melindungi kelompok tertentu.
Selanjutnya, apakah mereka sadar jika film itu berdampak memancing kemarahan umat Islam dan sekaligus merusak institusi Polri serta semakin membentuk sikap benci rakyat kepada Polri?
Kesalahan demi kesalahan polisi yang terus diobral di hadapan mata, telinga, dan hati rakyat, seharusnya tidak perlu terjadi, bila komitmen terhadap kepentingan bangsa dan negara dikedepankan. Polisi harus sadar, bahwa tidak bisa survive dan tidak bisa hebat tanpa dukungan rakyat.
Pertanyaan kedua, apakah modus fatal yang mendapat banyak kecaman ini akan dijawab dengan jujur kemudian berani merealisasikan punish kepada mereka yang bersalah atau apakah cukup minta maaf dan selesai? Masyarakat sangat menunggu tindakan polisi, meski di benaknya sudah tertanam bagaimana gaya kebiasaan polisi dan bisa menebak ke mana arah polisi menyelesaikan temaram peristiwa ini.
Kejadian share film sesat itu seharusnya dijadikan momentum untuk betul-betul mau berbenah terhadap cara komunikasi positif dan partisipatif dengan masyarakat. Polisi harus juga mau membuktikan kepada masyarakat, bahwa polisi tidak main-main, apalagi main politik praktis. Sehingga, dapat menepis dugaan yang selama ini dipraktikkan yang sama persis terhadap kasus Siyono atau Novel Baswedan yang tak kunjung terungkap.
Polisi hendaknya tidak membiarkan perkara ini sampai rakyat lelah dan lupa. Sebab, secara psikologis, mendiamkan kasus ini berarti menumpuk kebencian rakyat kepada polisi dan dampaknya timbul ketidakpercayaan rakyat kepada polisi semakin dalam.
Bila ini terjadi, obatnya amat mahal, susah, dan waktunya panjang, kemudian akan merugikan polisi sendiri serta bangsa dan negara.
Polisi yang digaji oleh rakyat seharusnya melindungi dan melayani rakyat, bukan justru memusuhi dan mengadu domba rakyat. Rakyat sudah bisa menebak bila film sejenis itu di-share oleh ormas Islam seperti FPI, dipastikan pemerintah cq polisi akan langsung ‘tancap gas tanpa rem’ untuk menggebuk dan memenjarakan mereka tanpa ampun.
Sebaliknya, bila itu dilakukan oleh polisi sendiri, apakah mau konsekwen menegakkan hukum dan sekaligus menjaga marwah institusi Polri? Beranikah menegakkan kebenaran dan keadilan demi nama baik polisi, bukan sebaliknya mendiamkan sampai dimakan waktu, namun risikonya dibenci rakyat?
Rakyat sudah sangat paham dengan modus-modus kuno polisi yang cenderung membabi buta membela penguasa. Petinggi polisi kini tidak berpikir panjang terhadap nama baik institusinya, tapi cuma demi nafsu dan syahwat menduduki dan melanggengkan jabatan. Mereka tidak berpikir jabatan itu sebagai amanah untuk melindungi dan melayani rakyat, tapi justru meresahkan bahkan menakutkan rakyat.
Mereka loyal, tapi buta hati dan tak cerdas, sehingga cuma menginginkan empuknya jabatan yang memang sangat menggiurkan bagi orang-orang yang cinta dunia dan lupa akhirat. Sungguh disayangkan, banyak petinggi polisi yang sengaja tak sadar diri demi kepentingan pribadi atau kelompok, meski bakal menghancurkan nama baik dan citra Polri.
Sebenarnya, rakyat begitu iba dan kasihan kepada polisi-polisi yang berdedikasi tinggi kepada bangsa dan negara, tapi tak kuasa dan tak mampu protes keadaan. Sungguh disayangkan, para petinggi polisi yang punya kuasa, hanya loyal ke atas (tentu ada udang di balik batu) dan kelompok tertentu tanpa melihat kondisi dan fakta sebenarnya di lapangan.
Akibatnya, melihat orang kritis kepada penguasa, langsung disejajarkan musuh penguasa kemudian diaksi dengan emosi demi keinginan kelompok dan tuannya, meski selalu merugikan rakyat. Mereka selalu setia membela tuan dan kelompoknya, seolah sedang menegakkan kebenaran, meski faktanya terbalik. Adilkah tatkala rakyat kritis tapi benar disalahkan, sedangkan penguasa yang salah, terus dibela dan dibenarkan?
Melihat sepak terjang petinggi polisi yang kian mengkhawatirkan, adakah kekuatan lain di lingkungan Polri yang mampu dan berani mengingatkan, agar polisi kembali ke habitat yang sesuai dengan Tribrata? Masih adakah para sesepuh dan senior polisi yang peka dan peduli? Bila semua diam dan tidak ada yang peduli, maka tinggal tunggu waktu terjadinya kehancuran polisi Indonesia.
Pertanyaan berikut, mengapa polisi senantiasa mengutak-ngatik dan melakukan pembiaran bila terjadi gangguan kepada umat Islam? Kebenaran itu nampaknya sukar dibantah bila melihat fakta yang ada selama ini.
Tengok kasus HRS (Habib Rizieq Shihab), Al Khathathath, UBN (Ustaz Bachtiar Nasir), Ustaz Zulkarnaen, Munarman, Fahri Hamzah, Gubernur NTB, ustaz-ustaz kampung, dan belum lagi ulah terbaru BNPT yang dikomandani seorang Komjen Polri membuat stigmatisasi radikal umat Islam, dan sebagainya.
Setiap kritik dari rakyat seharusnya direspons dengan bijak, kemudian segera melakukan introspeksi dan pembenahan, bukan justru bertahan dengan menutupi kesalahan. Apalagi, membuat langkah blunder dengan menangkap mereka yang bersuara kritis.
Seyogyanya polisi berterima kasih bila dapat ‘jeweran’ dari rakyat, karena ini merupakan sikap sayang rakyat kepada polisi agar tetap di jalur kebenaran dengan tetap berbaju Tribrata.
Di seluruh dunia, polisi adalah aparat paling depan dalam menegakkan hukum, tanpa membedakan aliran politik dan SARA. Cuma di Indonesia polisi tampil beda, di mana sudah berani main belakang beraroma politik. Memang akibatnya bagi petinggi Polri disenangi penguasa, karena mau disuruh apa saja, menangkap, menggebuk, dan menzalimi lawan politiknya yang selama ini haram dilakukan polisi.
Kini, saatnya harus membuktikan kepada rakyat, polisi bukan sebagai alat penguasa, tapi sebagai alat negara yang bertekad mengutamakan kepentingan negara dan bangsa.
Selamat ulang tahun Polri, 1 Juli 2017. Semoga lebih peduli kepada bangsa dan negara.
Oleh Birru Ramadhan, Pemerhati Sosial Politik