Artikel ini ditulis oleh Sastrawan Politik Ahmad Khozinudin.
Ada yang menduga, tindakan politik yang diambil Zulkifli Hasan PAN, Muhaimin Iskandar PKB dan Airlangga Hartarto Golkar, yang bersuara mewacanakan Pemilu ditunda karena mereka tersandera kasus korupsi. Status ketiganya sebagai ‘Pasien Rawat Jalan KPK’ menyebabkan ketiganya terbelenggu, dan tak mampu menolak kehendak rezim.
Dugaan ini benar, tapi bukanlah faktor dominan yang menjadi alasan mereka menyuarakan tunda Pemilu. Sejauh ini, kasus kardus durian cak Imin, kasus izin lahan hutan Zulkifli Hasan dan kasus pembangkit listrik Airlangga Hartarto dapat dikendalikan dan tak bergulir di KPK. Itu artinya, tiga politisi partai ini cukup kunci untuk menggembok kasus sehingga tidak jalan.
Biasanya, jurus umumnya adalah mereka pegang kartu As atau borok-borok politisi lainnya. Sehingga, posisi itu digunakan untuk berkompromi untuk tidak saling memangsa dan mengutak-atik kasus.
Ada juga yang menduga, tunda Pemilu adalah kepentingan oligarki rakus yang belum merasa puas dilayani dalam kurun dua periode Jokowi. Alasan ini juga dibenarkan, bahkan memiliki bobot yang lebih signifikan ketimbang alasan sebelumnya.
Namun, yang paling penting dan memiliki bobot kenapa PAN, PKB dan GOLKAR bersuara tunda pemilu adalah untuk kepentingan mereka sendiri. Alasannya adalah sebagai berikut :
Pertama, PAN, PKB dan Golkar memiliki kesadaran bahwa elektabilitasnya menurun. Sehingga, jika Pemilu dilaksanakan mereka akan kehilangan sejumlah kursi kekuasaan, bahkan tak punya kursi sama sekali.
PAN yang saat ini hanya memiliki 44 kursi dari umlah suara 9.572.623 atau 6,84 persen pada Pemilu 2019. Jika Pemilu dilaksanakan, suara PAN potensial tergerus dari dua sisi.
PAN tergerus suaranya karena citra PAN pro rezim dan tidak pro rakyat. Apalagi setelah PAN bergabung ke koalisi Jokowi, kursi menteri belum dapat, elektabilitas partai jelas terkoreksi.
lalu hadirnya Partai Umat besutan Amien Rais, tentu akan menggerus suara PAN karena relatif memiliki segmentasi pemilih yang sama. Platform dan jargon, termasuk jaringan politik yang relatif sama.
Keadaan ini, jelas akan mempengaruhi PAN bukan hanya menurunkan suara PAN. Lebih dari itu, PAN bisa saja terkoreksi, tak lolos Parlementiary Threshold dan terpaksa menjadi partai jalanan.
PKB juga sama, pasca NU dipimpin Yahya Staquf dan sejumlah petinggi PDIP ‘mengilfiltrasi PBNU’, suara NU yang sebelumnya menjadi kapling PKB dapat terpecah. Bahkan, Wadas yang kantong NU saja menjadi pemilih PDIP.
Suara PKB berpotensi tergerus PDIP. Meskipun tak separah kondisi PAN, penurunan suara PKB dan migrasi suara ke PDIP akan sangat mempengaruhi penurunan cukup signifikan suara PKB.
Golkar secara elektabilitas tidak terlalu terpengaruh. Hanya saja, Airlangga butuh mengamankan dirinya dan patronnya agar tidak digeser oleh dinamika Pemilu.
Anggota DPR Golkar yang ada saat ini, serta sejumlah pejabat teras masih sejalan dengan Airlangga. Jika terjadi kocok ulang melalui Pemilu, maka perubahan struktur kekuasaan itu juga akan mempengaruhi posisi politik Airlangga dihadapan mitra koalisi.
Kedua, komposisi kekuasaan yang ada saat ini sangat menguntungkan Golkar dan PKB, mereka sudah dalam posisi uenak. PAN ingin merapat, dan kemungkinan posisi PPP yang digeser.
Mendapat posisi enak seperti ini, sudah seharusnya terus dipertahankan. Menunda Pemilu jelas akan mengamankan posisi politik yang diperoleh selama ini.
Ketiga, sejumlah anggota DPR RI dan DPRD ditingkat provinsi, kota dan kabupaten, akan ikut happy. Mereka, tetap dapat berkuasa tanpa perlu berjuang via Pemilu.
Mereka tidak perlu menghabiskan dana miliaran rupiah untuk pemilu, karena dengan ditunda Pemilu mereka otomatis mendapatkan perpanjangan kekuasaan. Mereka, dapat menumpuk harta dan kekayaan dengan jabatan itu.
Begitulah, realitas politik yang ada di negeri ini. Politik yang hanya berorientasi pada kekuasaan, bukan politik untuk melayani dan berkhidmat kepada rakyat.
[***]