LUPAKAN hasil investigasi wartawan Amerika, Allan Nairn yang menyebut adanya kelompok yang cukup kuat yang ingin menjatuhkan Presiden Joko Widodo dari kekuasaan.
Karena tanpa (skenario) kudeta itu, nampaknya pemerintahan Jokowi bisa jatuh dengan sendirinya.
Pertanyaannya kapan, jawabannya soal hitungan waktu. Dan pemicunya adalah kebijakan pemerintah menaikan tarif listrik. Sebuah kebijakan yang dirasakan mengabaikan jeritan masyarakat banyak.
Jokowi lupa, bahwa masyarakat sudah cerdas. Kenaikan tarif listrik kali ini sangat tidak masuk akal, apapun alasannya. Karena semua bahan baku yang dibutuhkan untuk menjalankan pembangkit listrik yaitu batubara, minyak dan energi terbarukan, sedang mengalami penurunan harga.
Jadi tidak mungkin harga produksi PLN mengalami kenaikan sehingga solusinya, tarif listrik harus dinaikkan.
Ibarat sebuah restoran, semua harga di pasar sedang turun, hanya restonya si Pak De saja yang menaikan harga jual per piring.
Masalahnya konsumen seperti dipaksa harus makan di restoran tersebut. Sebab resto itu hanya satu-satunya yang ada di tengah masyarakat.
PLN sebagai restoran, memonopoli bisnis makanan. Jadi tak ada pilihan. Dengan tidak adanya pilihan ini, kosmen menafsirkannya sebagai sebuah pemaksaan, keterpaksaan, kesewenang-wenangan, pemerkosaan hak warga. Prilaku yang tidak manusiawi.
PLN lewat Pak De Jokowi, sengaja memaksa masyarakat membeli makanan dengan harga yang tidak terjangkau. Kalaupun terjangkau, kemampuannya hanya bertahan tidak sampai sebulan.
Lantas apa mungkin rakyat tidak makan, memilih tidak punya aliran listrik ? Atau apa mungkin, konsumen, manusia bisa makan, tapi makannya tidak harus sebulan.
Atau apakah wajar konsumen menikmati aliran listrik tapi hanya beberapa hari dalam sebulan ?
Kemarahan terhadap PLN mau tak mau diarahkan ke Pak De Jokowi. Walaupun Pak De mungkin tidak sadar, kenaikan tarif listrik ini adalah bagian dari skenario besar.
Lewat tangan-tangan “mafia listrikâ€, Jokowi digembosi sebagai Presiden yang tidak punya empati pada yang terhimpit oleh kenaikan tarif listrik.
Pak De lupa, tanpa kenaikan tersebut, rakyat sudah menderita dan memendam amarah yang begitu tinggi terhadap PLN.
Pak De tidak tahu, setiap bulan PLN secara de facto, diam-diam menaikan tarif listrik. Kenaikan ini mengisyaratkan Pak De Presiden mendukung manajemen PLN dan pimpinannya yang tidak peduli pada penderitaan rakyat.
Lantas masihkah, haruskah rakyat percaya Pak Presiden sebagai seorang pemimpin semua rakyat ?
Kalau tidak percaya tentang kelakuan PLN, tentang kenaikan de facto setiap bulan itu, cek tagihan secara random di lima wilayah di Jakarta.
Walaupun semua lampu dipadamkan di siang hari tagihan bulanan pasti ada kenaikan.
Setiap bulan ada “petugas†PLN yang memotret meteran. Dari cara itu kelihatannya PLN menjalankan manajemen secara terbuka dan akuntabel.
Tapi yang selalu mengejutkan, ketika membayar tagihan lewat ATM, pasti ada lonjakan kenaikan.
Dan asal tahu Pak De Presiden, ketika berhadapan dengan mesin ATM, tak satupun yang bisa mengeluh, kecual satu: bayar dan harus bayar !
Walaupun dalam sebulan terjadi pemadaman secara sepihak – sebanyak dua sampai empat kali – dengan durasi lebih dari satu jam, belum pernah terjadi, tagihan pada bulan berikutnya mengalami penurunan.
PLN ibarat binatang buas yang tidak pernah merasa kenyang.
Tidak heran timbul pertanyaan, apakah yang datang memotret meteran di rumah tiap bulan itu, untuk mengecek penggunaan besarnya watt, memang benar petugas PLN atau “mafia†yang mengatas namakan PLN ?
PLN sudah sering disindir sebagai Perusahaan Lilin Negara. Berhubung sepanjang tahun, berkali-kali terjadi pemadaman listrik, tanpa komsumen tahu sebab musababnya.
Berhubung terlalu seringya PLN memadamkan listrik, mau tidak mau, konsumen harus menyediakan lilin – apakah itu lilin yang biasa digunakan untuk sembahyang di vihara atau lilin-lilin kecil untuk pesta perayaan ulang tahun.
Kemarahan bertambah-tambah karena PLN selama ini bersikap tutup kuping. Keluhan dengan cacian yang menggunakan istilah dari Taman Marga Satwa pun, disampaikan kepada Eksekutif PLN, tak membuat PNS di PLN, bergeming.
Boleh dibilang, tidak ada layanan PLN yang menyejukkan, kecuali menjengkelkan.
Dalam situasi pelayanan PLN seperti itu, di tengah suasana politik yang tidak kondusif, pemerintahan Jokowi mengeluarkan kebijakan yang menyakiti rakyat.
Kebijakan itu, jelas akan membebani kehidupan rakyat, khususnya masyarakat menengah ke bawah. Walaupun pada akhirnya kebijakan itu akan mempengaruhi produktifitas semua bisnis.
Pengusaha pun pada akhirnya akan menjerit, sebab yang mereka produksi, tidak terbeli oleh konsumen. Cepat atau lambat hal ini akan menurunkan kegiatan ekonomi dan berujung pada turunnya pertumbuhan ekonomi.
Krisis ekonomi, krisis baru, tak terelakan. Kenaikan tarif listrik menjadi pemicu krisis. Krisis itu menyapu semua elemen masyarakat.
Nah kalau semua sudah terkena dampaknya, jadilah Jokowi sebagai Presiden yang hanya didukung oleh PLN. Itu artinya apa, silahkan jawab sendiri.
Dari kebijakan tarif baru listrik ini, Jokowi seperti tidak punya kendali terhadap kebijakan fundamental yang menyangkut hajat hidup orang banyak.
Jokowi sebagai pemimpin tertinggi di negara ini, mungkin tidak paham seluk beluk pebisnis yang bermain dalam bisnis monopoli ini. Jokowi terlalu lugu dalam melihat semua pebisnis.
Jokowi terjebak dengan banyaknya proyek listrik yang mangkrak, kemudian dia berusaha menyelesaikan proyek yang terbengkalai itu.
Ketika Jokowi fokus pada upaya menyelamatkan proyek yang menelan puluhan triliunan rupiah itu, para pebisnis di industri listrik sumringah. Pak Presiden pun merasa melakukan pekerajaan yang diridhoi rakyat.
Pada saat itulah, Pak De Presiden lengah. Di tengah kelengahan itu lantas sebuah proposal yang ingin menaikan tarif listrik, masuk ke ruang kerjanya. Tanda setuju pun dikeluarkan.
Jokowi tidak alert, kebijakan barunya di bisnis listrik, menjadi bahan tertawaan bagi para ahli yang berkecimpung di bisnis energi. Baik praktisi maupun akademisi.
Setidaknya ada dua warga yang mengkritisi kebijakan ini. Keduanya adalah Salamuddin Daeng, seorang ekonom sekaligus pengajar bidang energi dan politik dan Teddy Setiawan, seorang pengusaha yang sejak 30 tahun lalu sudah memperkenalkan penggunaan batubara sebagai bahan baku pembangkit tenaga listrik.
Analisa Salamuddin yang memviral menyatakan kenaikan tarif kali ini, merupakan kebijakan yang tak masuk akal. Sebab terjadi di saat semua sumber bahan baku listrik, tengah mengalami pemurunan.
Sementara Teddy Setiawan bertanya, apa gunanya peresmian atas beroperasinya lebih dari 10 PLTU di pulau Jawa ?
Tokoh KAPPI (Kesatuan Aksi Pemuda Plajar Indonesia – Angkatan 66 ) ini curiga bahwa kebijakan baru tarif listrik bisa jadi disengaja. Untuk menimbulkan kesulitan bagi rakyat banyak.
Rakyat yang menderita, merasa tidak dipedulikan oleh Presiden. Semua rakyat merasa tidak dipedulikan Presiden. Termasuk mereka yang menjadi pendukung Jokowi. Pada akhirnya semua berbalik membelakanginya.
Maknanya, kebijakan ekonomi Pak De Jokowi ini memiliki resonansi yang sangat kuat terhadap kehidupan politik di Indonesia.
Kredibilitas Jokowi pun semakin mengalami delegitimasi. Kebijakan itu menunjukan kelemahannya sebagai politisi sekaligus sebagai pemimpin.
PLN yang berbuat salah, Pak Presiden yang terkena getahnya. PLN dianggap tidak pernah peduli atas keluhan konsumen listrik. Sikap ini diterjemahkan sebagai bagian dari kebijakan Jokowi. Presiden yang didukung oleh PDIP ini ternyata tidak peduli pada rakyat, wong cilik.
PLN tak ubahnya dengan penjajah yang seenaknya menerapkan kebijakan yang menyengsarakan rakyat. Terjemahannya, Jokowi adalah bagian dari penjajah yag berselimutkan kemeja polos, baju sederhana, simbol terjajah.
Konsumen selama ini setiap bulan hanya bisa pasrah atas tagihan listrik yang terus merangkak naik. Tidak bisa memprotes. Kalaupun memprotes tidak dihiraukan oleh PLN. Kalaupun memprotes, tagihan harus dibayar dulu. Dan kalau tidak dibayar, PLN seperti algojo akan memutus sambungan listrik. Pak De Presiden tidak peka terhadap keadaan di atas.
Dengan berbagai latar belakang itu, mohon maaf kalau kesimpulan sementara harus berujung pada hasil yang negatif.
Yaitu tanpa makar, tanpa kudeta kekuasaan sebagaimana diperingatkan wartawan bule dari Amrik, Presiden Jokowi bisa tersisih dengan sendirinya.
Atau kalaupun pada akhinya terjadi kegiatan makar, rakyat yang tersakiti, tidak akan peduli.
Kalau Jokowi akhirnya jatuh, rakyat tidak akan meratapinya. Sebab Pak De Jokowi sendiri yang menggali lubang untuk mengubur dirinya sendiri.
Catatan Tengah Jurnalis Senior Derek Manangka