Artikel ini ditulis oleh Sugiyanto (SGY)-Emik, Ketua Himpunan Masyarakat Nusantara (Hasrat), Pendukung-Relawan Independen Calon Presiden Prabowo Subianto pada Pilpres 2019-2024.
Pada 23 November 2024, saya merespons rencana Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto untuk menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen. Saya menyampaikan pendapat saya ini dalam artikel berjudul “KTT G20 2024 di Brasil: Kemiskinan, Kelaparan, dan Simalakama Kenaikan PPN 12% dalam Target Pajak, Defisit APBN, serta Usulan Penundaan Pajak.”
Kini, pada Minggu, 22 Desember 2024, saya menulis artikel ini untuk kedua kalinya mengenai kebijakan kenaikan pajak PPN 12 persen.
Sejarah pajak menunjukkan bahwa konsep ini sudah ada sejak ribuan tahun lalu. Di zaman Mesir kuno, Firaun memungut pajak dari rakyat untuk membiayai pembangunan piramida dan kebutuhan kerajaan. Di Indonesia, sistem pajak pertama kali diperkenalkan oleh Thomas Stamford Raffles, seorang gubernur Inggris yang menerapkan sistem pajak tanah (landrent) selama masa penjajahan Inggris di Jawa.
Ironisnya, kebijakan pajak ini berasal dari kebijakan kolonial yang lebih mengutamakan kepentingan asing daripada kesejahteraan rakyat pribumi.
Sebagai negara merdeka, Indonesia menjadikan pajak sebagai sumber utama pendapatan negara. Namun, kenaikan PPN menjadi 12 persen menuai pro dan kontra di masyarakat.
Pemerintah beralasan bahwa kebijakan ini diperlukan untuk menopang anggaran negara, terutama dalam mendukung pembangunan infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan. Pemerintah juga menegaskan bahwa kenaikan PPN 12 persen hanya berlaku untuk barang-barang tertentu (barang mewah) dan tidak akan dikenakan pada kebutuhan vital masyarakat sesuai daftar yang telah ditetapkan.
Namun, di sisi lain, rakyat merasa bahwa kenaikan PPN 12 persen tetap akan berdampak pada peningkatan harga barang. Terlebih lagi, situasi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih pasca-pandemi, ditambah lonjakan harga kebutuhan pokok, semakin membuat masyarakat terbebani.
Indonesia adalah negara yang kaya akan sumber daya alam, mulai dari tambang emas, minyak bumi, hingga hasil hutan dan laut. Dengan kekayaan alam yang melimpah, muncul pertanyaan besar: mengapa rakyat masih harus menanggung beban pajak yang semakin tinggi?
Jika kekayaan alam itu dikelola dengan benar, transparan, dan berorientasi pada kepentingan rakyat, seharusnya pajak tidak menjadi beban berat bagi masyarakat. Sayangnya, praktik korupsi dan pengelolaan yang buruk masih menghalangi tercapainya keadilan ekonomi.
Korupsi menjadi momok yang merusak potensi besar negeri ini. Banyak koruptor yang masih bebas menikmati hasil rampasan negara tanpa ada hukuman yang memberikan efek jera. Dalam hal ini saya membayangkan, jika kebijakan hukuman mati bagi koruptor, beserta penyitaan seluruh harta hasil kejahatannya diterapkan, maka mungkin bisa menjadi solusi tegas dan drastis untuk memberantas korupsi.
Jika langkah tersebut diterapkan secara konsisten, negara dapat memperoleh kembali sumber daya yang signifikan untuk memenuhi kebutuhan rakyat tanpa terus membebani mereka dengan kenaikan pajak atau utang negara.
Bayangkan jika Indonesia bebas dari korupsi, dengan pengelolaan kekayaan alam yang sepenuhnya berorientasi pada kemakmuran bersama. Dalam kondisi ini, pajak mungkin hanya akan menjadi kenangan sejarah. Direktorat Jenderal Pajak mungkin hanya akan menjadi “Musium” yang dikenang sebagai simbol perjuangan menuju keadilan ekonomi.
Namun, rakyat bertanya-tanya, mengapa mereka masih harus menanggung beban pajak yang terus meningkat jika kekayaan alam ini dikelola dengan benar dan berorientasi pada kesejahteraan bersama? Mungkin, pengelolaan yang buruk dan praktik korupsi menjadi faktor hambatan terbesar bagi tercapainya keadilan ekonomi.
Dalam konteks membersihkan para koruptor, Presiden Prabowo Subianto, dalam pertemuannya dengan mahasiswa Indonesia di Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir, menyampaikan ancamannya untuk membersihkan aparat pemerintah yang berpihak pada koruptor. Presiden Prabowo menegaskan bahwa aparat harus memilih setia kepada bangsa, negara, dan rakyat. Beliau memberi kesempatan kepada para koruptor untuk bertobat dan mengembalikan apa yang telah mereka curi.
Menurut Prabowo, pengembalian hasil korupsi dapat dilakukan secara diam-diam sebelum diberikan pengampunan.
Prabowo juga mengingatkan pejabat negara yang telah menikmati fasilitas untuk membayar kewajiban mereka. Jika mereka taat hukum, kesalahan masa lalu tidak akan diungkit lagi. Namun, jika mereka terus membandel, penegakan hukum akan menjadi solusi yang tak terelakkan.
Sejatinya, pajak dalam bentuk idealnya seharusnya menjadi sarana untuk membangun bangsa, bukan alat penindasan. Jika sistem pajak diterapkan secara adil dengan pengelolaan kekayaan negara yang transparan dan efektif, rakyat tidak akan merasa terbebani. Harapan ini hanya bisa terwujud jika praktik korupsi dan ketidakadilan ekonomi dihentikan.
Masyarakat Nusantara kini hanya bisa berharap agar kebijakan kenaikan PPN 12 persen ini ditinjau kembali. Sebagai alternatif, saya ingin mengusulkan agar pemerintah mempertimbangkan penundaan kebijakan ini.
Sebagai solusi pengganti, pemerintah dapat merujuk pada berbagai referensi alternatif yang ada. Salah satunya adalah dengan melakukan optimalisasi penerimaan pajak. Pemerintah dapat memperbaiki pengawasan dan penegakan hukum terkait pajak di sektor-sektor yang belum terjangkau, seperti pajak ekonomi digital, pajak kekayaan (wealth tax), atau pajak karbon.
Selain itu, pajak kekayaan yang menyasar individu berpenghasilan tinggi atau pajak windfall komoditas yang dikenakan pada keuntungan luar biasa sektor tertentu seperti tambang atau sawit juga bisa menjadi opsi perpajakan yang efektif. Menutup kebocoran pajak di sektor sawit dan transaksi perusahaan digital lintas negara juga bisa menjadi opsi yang tepat.
Dengan langkah-langkah tersebut, pendapatan negara dapat meningkat tanpa harus membebani rakyat kecil. Alternatif lainnya adalah efisiensi anggaran negara. Pemerintah perlu melakukan evaluasi menyeluruh terhadap belanja negara untuk memastikan tidak ada kebocoran atau pengeluaran yang tidak produktif. Belanja-belanja yang tidak prioritas bisa dialihkan untuk menutup defisit anggaran.
Langkah-langkah tersebut lebih adil karena menyasar pihak yang lebih tepat dan hanya membebani mereka yang memiliki kemampuan finansial lebih besar, daripada menaikkan PPN 12 persen yang berpotensi membebani masyarakat. Langkah ini menjadi relevan di tengah kondisi yang sangat rentan, di mana harga barang terus melonjak dan masyarakat hanya bisa berjuang untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Selanjutnya, pendapatan dari pajak alternatif ini bisa difokuskan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Intinya, masih ada solusi alternatif lain yang lebih bijaksana, bukan sekadar menaikkan PPN 12 persen yang hanya menjadi solusi instan untuk menutupi defisit anggaran yang mungkin terjadi akibat pengelolaan negara yang buruk dan kurang efisien. Namun jika PPN tetap naik, kami hanya bisa pasrah, dan berharap Presiden Prabowo segera menghukum berat para Koruptor.
Jakarta, Minggu, 22 Desember 2024
[***]