Artikel ini ditulis oleh Arief Gunawan, Pemerhati Sejarah.
ORANG Eropa dulu menyebut Jawa sebagai Javadios.
Dari kata Jaba atau Jau, yang berarti jarak yang melampaui.
Raffles di dalam History of Java menyebut nama lain Pulau Jawa sebagai Nusa Kendang, Nusa Hara-Hara, atau Jawawut, yang berasal dari pendatang pertama India yang menemukan biji-bijian baru di Tanah Jawa.
Pulau Jawa abad 19 menjadi titik perdagangan terpenting dunia. Tanaman-tanaman komoditas ekspornya yang dieksploitasi oleh pemerintah kolonial Belanda melalui Tanam Paksa (1830-1870) membuat rakyat biasa dan petani miskin.
Sejarawan Robert Van Niel di buku Sistem Tanam Paksa di Jawa menyebut, 70 persen petani Jawa kala itu dipekerjakan di perkebunan-perkebunan kolonial.
Para petani dipaksa menyerahkan sebagian tanah untuk ditanami tanaman-tanaman ekspor, dengan mengabaikan sawah dan kebutuhan pangan sehari-hari.
Mereka harus memikul beban memenuhi target ekspor yang ditentukan oleh pemerintah kolonial.
Kekalahan dalam Perang Jawa (1825-1830) membuat defisit kas Belanda, ditambah ongkos untuk membiayai perang melawan Belgia yang tak sedikit jumlahnya.
Itulah sebabnya Van Den Bosch didatangkan.
Perwira yang kekejamannya bukan di medan pertempuran ini merupakan konseptor Tanam Paksa.
Ia menjadikan para bupati dan kepala daerah dari kalangan bumiputera sebagai suksesor.
Untuk wilayah yang mampu memenuhi target Tanam Paksa para bupati dan kepala daerahnya diberikan hadiah dan kenaikan pangkat, serta birthright, yaitu semacam hak lahir untuk keturunan mereka buat meneruskan jabatan bupati atau kepala daerah secara turun menurun.
Dalam konteks sekarang para bupati dan kepala daerah tersebut menjadi semacam peliharaan oligarki, sekaligus suksesor kepentingan bisnis oligarki yang bertindak merangkap cukong pada saat Pilpres.
Bagaimana praktek Tanam Paksa di Jawa Tengah saat itu?
Secara umum kerugian yang dialami rakyat di Pulau Jawa akibat Tanam Paksa berujung pada masifnya penderitaan dan kemiskinan yang terjadi secara merata.
Beberapa daerah di Jawa Tengah, seperti Demak dan Grobogan, pada 1848, 1849, dan 1850, misalnya, dilanda oleh paceklik dan bencana kelaparan yang cukup panjang.
Dalam waktu dua tahun jumlah penduduk di wilayah itu dilaporkan berkurang drastis akibat kematian karena kelaparan.
Kekacauan sosial akibat Tanam Paksa juga terjadi di Rembang, Kedu, Banyumas, dan beberapa daerah sekitarnya.
Sekarang pun rupanya terjadi paralelisme historis.
Di bawah Gubernur Ganjar Pranowo yang kini semakin sibuk melakukan pencitraan, lantaran kepingin jadi presiden, jumlah daerah kemiskinan ekstrem di wilayah Jawa Tengah bertambah drastis dari 5 daerah kemiskinan ekstrem menjadi 19 daerah kemiskinan ekstrem.
Ganjar yang banyak disebut oleh masyarakat sebagai capres boneka oligarki dianggap tidak mengurus rakyat daerahnya sendiri. Sikapnya terhadap kasus tanah Desa Wadas yang banyak dicemooh publik telah memperjelas tidak adanya keberpihakan terhadap rakyat Jawa Tengah.
Belum lama ini dari Sragen, Jawa Tengah, terbetik pula berita, dalam sehari terjadi tiga kali peristiwa gantung diri yang dilakukan oleh warga di wilayah tersebut, akibat kemiskinan.
Modal pencitraan yang selama ini dilakukan oleh Ganjar esensinya adalah mengulang cara yang sama seperti yang dilakukan oleh Jokowi menjelang Pilpres 2014, yang terbukti gagal.
Inti pencitraannya adalah kebohongan dan pura-pura memihak rakyat.
Bertambahnya secara drastis daerah kemiskinan di Jawa Tengah, tidak adanya keberpihakan dalam persoalan Desa Wadas, dan keterkaitan nama Ganjar dalam kasus e-KTP merupakan contoh buruk komitmen pejabat publik kepada rakyat.
Maka menjadi semakin suram masa depan negeri ini dan mayoritas rakyatnya apabila Pemilu dan Pilkada Serentak 2024 mendatang yang telah dianggarkan akan menelan biaya Rp 110 triliun hanya menghasilkan penguasa bermodal pencitraan tanpa integritas, track record yang positif, dan kemampuan problem solver.
“Biaya Pemilu yang sangat besar seperti itu apakah akan menghasilkan pemimpin-pemimpin hebat atau hanya pemimpin-pemimpin kelas boneka ? Yang hanya mengandalkan pencitraan berbayar melalui pollsterRp dan mediaRp,” tandas tokoh nasional Dr Rizal Ramli di akun twitter-nya baru-baru ini.
Pertanyaan penting ini esensinya mewakili suara kolektif mayoritas rakyat dan membangun kesadaran bahwa betapa berbahaya memilih pemimpin yang bertumpu pada pencitraan dengan modal kapital oligarki, karena pada akhirnya sosok yang terpilih hanya akan mengabdi kepada kepentingan oligarki.
Persis seperti para bupati dan kepala daerah di era Taman Paksa yang menempatkan diri menjadi suksesor bagi Van Den Bosch.
Yang apabila dihadapan tuan-tuan oligarki yang merupakan junjungan mereka, siap sedia untuk selalu berkata:
“Duli paduka Tuanku, akulah pelayan abdi setiamu,” sambil kakinya menginjak rakyat.
[***]