“KEMERDEKAAN itu harus 100%, diplomasi berarti merdeka kurang dari 100%â€
Kira-kira begitulah ucapan Tan Malaka, kala memprotes kebijakan Soekarno dan Hatta tentang bagaimana jalan Indonesia mencapai kemerdekaan. Bagi orang naif ungkapan Tan Malaka ini sedikit frontal, reaksioner dan menggebu-gebu. Sebaliknya, bagi orang-orang yang memahami jalan panjang kemerdekaan memang tidak ada jalan lain bagi bangsa Indonesia kecuali terus berjuang. Merebut kemerdekaan dan bangkit menggebuk penjajahan. Sebab, bagi Tan Malaka, kemerdekaan Indonesia adalah hasil dari perjuangan, bukan hadiah dari penjajah di meja perundingan.
Lebih lanjut Tan Malaka mengucapkan;
“Tuan Rumah tidak akan berunding dengan maling yang telah menjarah rumahnyaâ€
72 Tahun, sejak peristiwa paling penting Republik Indonesia, 17 agustus 1945. Indonesia telah melalui jalan panjang berliku jalan panjang kemerdekaan. Saat ini sikap-sikap intoleransi terhadap perbedaan merupakan permasalahan paling membahayakan keutuhan dan kemerdekaan 100% bangsa Indonesia. Seolah kita terjebak lalu menikmati tanpa berfikir untuk penyelesaian segala permasalahan bangsa ini. Diam, apatis dan takut menghantui kita dalam mencapai Indonesia merdeka 100%.
Intoleransi merebak hingga pelosok negeri. Lihat saja permasalahan akut yang dihadapi Indonesia akhir-akhir ini. Gereja dibakar, Masjid dihancurkan dan berbagai kasus pelarangan pendirian rumah ibadah. Di sisi yang lain berbagai konflik suku, ras dan gender juga masih terjadi dipelbagai pelosok negeri yang merobek untaian paling pusaka keragaman Indonesia bernama Bhinneka Tunggal Ika. Padahal melukai keragaman sama artinya dengan melukai kemerdekaan yang diikrarkan 72 tahun yang lalu.
Memang harus diakui, tidaklah mudah membangun kesadaran di kalangan masyarakat, bahwa kebhinekaan adalah keniscayaan sejarah. Menanamkan sikap yang adil dalam menyikapi kebhinekaan adalah perkara yang lebih tidak mudah lagi. Pasalnya, penyikapan terhadap kebhinekaan kerap berhimpitan dengan pelbagai kepentingan sosial, ekonomi dan politik. Khususnya Indonesia yang merupakan negara maritim yang terdiri dari 13.466 pulau, adat istiadat yang beragam, lima agama besar dunia ada disini dan kesenjangan sosial-ekonomi yang masih memicu kerentanan demi kerentanan. Dengan serba keragaman ini tidak mudah mengurus keberagaman bangsa ini.
Pada kondisi ini sikap toleran harusnya menjadi pijakan yang sangat penting untuk dikampanyekan. Menerima dan mengakui keragaman Indonesia ditengah multikulturalisme tentu menjadi sebuah keharusan. Berunding dengan kelompok dan ide-ide intoleran adalah kesalahan sejarah yang harus segera diperbaiki, sebab tidak ada tempat bagi intoleransi di Indonesia.
Intoleransi dan Kemiskinan di Indonesia
Dewasa ini permasalahan intoleransi menjadi topik yang hangat dibahas di Indonesia. Ragam permasalahan seperti; radikalisasi hingga isu terorisme yang sifatnya trans-nasional. Tidak hanya itu, isu mayoritas-minoritas terkait agama, etnisitas, adat-istiadat hingga diskriminasi gender selalu menjadi ancaman bagi keutuhan dan kebhinekaan Indonesia. indikasinya dapat dilihat dari berbagai teror yang terjadi, kekerasan hingga persekusi terhadap kelompok etnis minoritas kerap mengisi headline pemberitaan media-media.
Kondisi ini tentu tidak dapat dianggap sebelah mata. Sebab, berkaitan dengan semangat kebhinekaan bangsa Indonesia. Tidak hanya itu, konstitusi Indonesia juga mewajibkan negara harus melindungi hak setiap warga negara. Mengingat nilai-nilai dalam Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika dan NKRI selalu mengkehendaki dilakukannya dialog dalam pelbagai upaya negara dalam mengatasi permasalahan bangsa. Terutama berkaitan dengan nilai-nilai ke-Tuhan-an, pilar kemanusiaan, persatuan Indonesia, konsep demokrasi dan keadilan sosial.
Jika tindakan intoleran dibiarkan tetap tegak berdiri dalam sendi-sendi kebangsaan di Indonesia. Bangsa ini akan sulit maju mengikuti sejarah perkembangan dunia secara global. Sebab, persoalan intoleransi sangat erat kaitannya dengan ketidakadilan bagi warga negara.
Lebih lagi, permasalahan yang sebenarnya lebih urgen terkait Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) justru dibiarkan merajalela menggerus keadilan itu sendiri. Akibatnya kesenjangan sosial dan kesenjangan ekonomi yang mengakibatkan kemiskinan semakin tajam tidak juga ditemukan solusinya. Seperti misalnya; proyek-proyek strategis untuk kesejahteraan masyarakat yang mangkrak, yang biayanya dari APBN/APBD.
Kondisi seperti inilah yang akhirnya membuat politik hanya dimaknai sebagai cara untuk memperoleh akses kekuasaan dan akses sumber daya. Sementara, keragaman hanyalah dipandang sebagai sebuah retorika politik dalam mimbar-mimbar politik yang sifatnya protokoler. Itu pula yang membuat banyak orang terlalu naif berbicara keragaman dan toleransi di Indonesia.
Merayakan Keragaman
Karen Polster (2000) menjelaskan, bagaimana keragaman secara filosofis dijelaskan dengan istilah Melting Pot dan Salad Bowl. Melting Pot diibaratkan sebagai sebuah semangkok bubur dengan ragam bahan. Seperti; kacang-kacangan, jagung, gula dan air yang ketika dimasak otomatis akan menghilangkan bentuk asal dan melebur menjadi satu. Sementara, Salad Bowl dijelaskan seperti semangkok salad yang terdiri dari ragam sayuran, tomat hingga daging yang tidak menghilangkan bentuk asal. Artinya eksistensi masing-masing budaya dari setiap bahan dalam semangkok salad tersebut tetap diakui keberadaanya.
Secara filosofis, Bhinneka Tunggal Ika sangat dominan dengan istilah Salad Bowl. Sebab, pada pola ini, keragaman tidak dipandang sebagai sebuah penyeragaman tapi penghargaan terhadap perbedaan. Artinya eksistensi masing-masing suku, agama, budaya dan etnisitas diakui keberadaannya dalam bingkai NKRI.
Tentu hal ini patut disyukuri mengingat keragaman dan perbedaan adalah takdir sekaligus anugerah dari Tuhan kepada makhluknya. Bagaimana kita merayakan keragaman adalah soal cara kita menghargai perbedaan, membangun keharmonisan dan memberi ruang masing-masing entitas keragaman bisa eksis dalam proses berbangsa dan bernegara.
Keragaman itu harus kita rawat, kita miliki dan kita jaga dari oknum-oknum yang ingin merusaknya. Agar supaya pekik kata “Merdeka†yang rutin kita teriakkan setiap tanggal 17 agustus tidak sekedar bunyi-bunyian kosong makna. Tetapi kita hidupi sebagai sebuah nafas bangsa Indonesia untuk tetap eksis di waktu-waktu mendatang.
Sebab, kepada kitalah pula tanggung jawab akan benang-benang keragaman Indonesia tetap menjadi untaian solidaritas paling pusaka di garis khatulistiwa. Untuk itu meski dilahirkan dari zaman, waktu dan kondisi yang berbeda dengan para pendiri bangsa ini, Â tapi cita-cita untuk akan kebhinekaan dan keragaman dalam ke-Indonesiaan tetap sama; Indonesia Raya.
Selamat hari kemerdekaan Republik Indonesia yang ke 72 tahun, berbeda dan merdeka 100%!
Oleh, Fuad Ginting, Ketua DPW Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Sumatera Utara