Artikel ini ditulis oleh Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies).
PPATK serahkan laporan dugaan pencucian uang kepada Kementerian Keuangan sejak 2009-2023. Nilainya mencapai Rp349 triliun. Menyedihkan, tidak ada tindak lanjut (memadai).
Dalam keterangannya, Menteri Keuangan Sri Mulyani menunjukkan tidak kompeten sebagai penyidik tindak pidana asal dugaan mega skandal pencucian uang yang menghebohkan ini.
Pertama, Sri Mulyani mengatakan, dugaan pencucian uang yang melibatkan pegawai kementerian keuangan hanya Rp3,3 triliun. Nilai ini jauh lebih kecil dari nilai yang disebut kepala PPATK Ivan Yustiavandana dan Menko Polhukam Mahfud MD, yaitu Rp35,5 triliun.
Karena PPATK memasukkan transaksi keuangan berbagai pihak yang disebut proxy (perorangan maupun perusahaan) dan diduga terlibat pencucian uang tersebut. Tetapi, Sri Mulyani mengeluarkan semua nama proxy tersebut.
Setelah nama-nama proxy dikeluarkan, maka nilai transaksi atas nama pegawai kementerian keuangan tersisa hanya Rp3,3 triliun, seperti dilaporkan Sri Mulyani.
Tentu saja, apa yang dilakukan Sri Mulyani sangat naif. Pencucian uang selalu menggunakan ‘tangan’ orang lain untuk menyamarkan uang kotor agar seolah-olah bersih. Sehingga nama-nama proxy tersebut tidak bisa dikeluarkan dan dianggap tidak terlibat dugaan pencucian uang.
Karena di dalam pencucian uang, pembelian aset seperti mobil, properti, saham, atau pendirian perusahaan, kebanyakan menggunakan nama orang lain (proxy) termasuk nama istri, anak, atau anggota keluarga lainnya.
Kalau Sri Mulyani tidak mengerti modus pencucian uang seperti ini, berarti dia tidak kompeten bertindak sebagai penyidik tindak pidana asal pencucian uang.
Pertanyaannya, kenapa pihak yang diduga PPATK terlibat pencucian uang oleh pegawai kementerian keuangan tersebut harus dikeluarkan dari daftar Rp35,5 triliun, sehingga hanya menyisakan Rp3,3 triliun?
Upaya ini patut diduga untuk menghilangkan jejak pencucian uang, sehingga tidak bisa dilakukan follow the money sebagai konsep membongkar dugaan pencucian uang.
Misalnya, kasus Rafael Alun. Yang bersangkutan diberitakan mempunyai banyak aset, termasuk saham perusahaan, atas nama anak, istri, anggota keluarga lainnya serta pihak lain yang dalam kendalinya. Mobil Rubicon miliknya ternyata atas nama pihak lain.
Kalau semua harta atas nama orang lain ini dikeluarkan dan dianggap bukan milik Rafael Alun, maka tidak ada kasus dugaan pencucian uang karena jumlah hartanya mungkin sudah sesuai laporan harta di LHKPN.
Seharusnya, Sri Mulyani melakukan penyidikan dengan modus yang sudah digambarkan PPATK melalui Hasil Analisis (HA) dan Hasil Pemeriksaan (HP). Bukan malah mengabaikan HA dan HP PPATK tersebut.
Kasus pegawai pajak Gayus Tambunan dan Angin Prayitno Ajie membuktikan banyak harta yang disimpan di luar nama yang bersangkutan. Bahkan banyak yang tidak terdeteksi seperti simpanan di safe deposit box (sdb), baik dalam bentuk cash atau emas batangan.
Kedua, cara Sri Mulyani menyidik pegawai kementerian keuangan, baik dalam rangka evaluasi risiko pegawai (profiling) maupun dugaan pencucian uang, patut dipertanyakan karena mencerminkan tidak kompeten.
Dalam melakukan investigasi atau penyidikan terhadap pegawai kementerian keuangan, Sri Mulyani minta informasi dari PPATK mengenai transaksi keuangan dari perusahaan yang dicurigai ada interaksi dengan pegawai tersebut.
Setelah dipelajari, tidak ada aliran dana dari perusahaan ke pegawai yang sedang diinvestigasi, sehingga yang bersangkutan dianggap bersih dan tidak bermasalah.
Tidak heran kalau selama ini, sejak 2009, tidak ada kasus dugaan pencucian uang pegawai kementerian keuangan yang diungkap oleh Kementerian Keuangan. Padahal kasusnya sangat banyak, melibatkan 491 pegawai kementerian keuangan, seperti diungkap Mahfud dalam RDP dengan Komisi III DPR.
Kementerian keuangan gagal membongkar dugaan pencucian uang Gayus Tambunan, Rafael Alun, atau Angin Prayitno.
Sehingga timbul pertanyaan, apakah Sri Mulyani benar naif, atau tidak kompeten, atau mau melindungi dan menghilangkan jejak dugaan pencucian uang oleh pegawai kementerian keuangan?
Sri Mulyani harusnya paham sekali, mana ada kasus suap dilakukan dengan cara transfer atau transaksi perbankan.
Semua pejabat pajak yang tertangkap KPK selalu melalui OTT. Artinya, modus penyuapan selalu dengan uang cash. Mencari aliran dana perbankan dari wajib pajak perusahaan ke pegawai kementerian keuangan akan sia-sia.
Oleh karena itu, Mahfud harus memastikan Kejaksaan Agung turun tangan menyidik dugaan pencucian uang ini.
[***]