Artikel Ditulis Oleh: Salamuddin Daeng, Ekonom
PAKET hemat secara harfiah adalah mengurangi secara kuantitas dan kualitas dari ukuran yang sebenarnya untuk memberi kesan cukup dan penerimanya merasa cukup. Pembuat paket hemat bisa mengambil separuh atau lebih keuntungan sebagai hasil siasat paket hemat. Bagi penerima paket hemat dia tau itu kurang tapi asal lambung tidak kosong.
Begitulah gambaran sebenarnya dari APBN Indonesia. Kuantitas dan kualitasnya tidak bertambah, dan bahkan bisa menurun. Pihak penyedia paket hemat dalam hal ini Kementerian Keuangan yang bekerja untuk oligarki pengendali sumber daya ekonomi nasional telah mengatur siasat sedemikian rupa, sehingga tampak kesan bahwa APBN itu besar, namun fakta sebenarnya APBN kecil.
Menciptakan kesan seolah olah
pajak, royalti, pungutan yang diberlakukan kepada para oligarki pengendali sumber daya ekonomi nasional, kesannya besar dan meningkat, padahal faktanya tidak.
Mari kita lihat bagaimana permainan paket hemat ini dijalankan. Para oligarki menerima konsesi, ijin, facilities, insentif, bahkan subsidi agar dapat menguasai sumber daya alam, mengeruknya dan mengangkutnya ke pasar ekspor. Jangan lupa bahwa mereka mengangkutnya itu lebih banyak menggunakan BBM bersubsidi yang harganya sepertiga harga pasar bahan bakar. Mereka mengangkut sumber daya alam Indonesia sampai ke pasar ekspor.
Setelah itu oligarki penguasa sumber daya alam tersebut menerima pendapatan dalam mata uang asing, dalam dolar Amerika Serikat. Makin hari yang diakui semakin banyak, terus bertambah seiring pembukaan investasi, lahan, hutan semua sudah habis dikuasai. Jadilah Indonesia sekarang sebagai eksportir paling besar dalam gas LNG, batubara, nickel, timah, perak, tembaga, biji besi, hasil kebun seperti sawit, hasil hutan berupa karet, kayu, dan lain sebagainya.
Seharusnya pendapatan negara bertambah kan? Seharusnya tambahan pendapatan negara itu dalam dolar kan? Setelah dikonversi ke dalam rupiah sebagai mana tercatat dalam APBN seharusnya tambahan berkali kali lipat kan? Sebab nilai rupiah itu setiap tahun merosot secara terus menerus, konsisten dan hampir pasti. Rupanya pelemahan rupiah itu bagian dari siasat utama dalam startegi keuangan Indonesia.
Tapi bagaimana kenyataannya,? Wah ternyata oligarki melalui kementerian keuangan berhasil menyusun paket hemat. Penerimaan negara itu tidak pernah bertambah. Dalam dollar AS atau dalam USD pemerimana negara Indonesia 10 tahun lalu itu sekitar 200 miliaran dolar AS, sekarang pun 200 miliaran DOLLAR AS. Jadi apa yang terjadi ternyata jumlah yang dibayarkan oleh pengendali sumber daya alam Indonesia makin lama itu makin kecil. Walaupun kita mengetahui harga komoditas SDA seperti batubara, nickel, timah, sawit ternyata makin meningkat. Demikian juga jumlah yang diangkut ke pasar ekspor meningkat dengan sangat pesat setiap tahun.
Namun paket hemat APBN lama lama makin terasa tidak cukup. Ternyata paket hemat ini harus dikembalikan kepada oligarki sumber daya alam dalam bentuk cicilan utang dan bunga. Mereka oligarki sumber daya alam selama bertahun tahun belakangan bersama menteri keuangan telah beternak uang berbunga tinggi dalam obligasi negara dan bank Indonesia. Memang sebagian besar hasil SDA tetap disimpan di luar negeri. Kedua lembaga yakni Menkeu dan BI harus membayar setiap tahun kepada oligarki besar sekali. Mereka kedua lembaga ini tidak pernah juga mempersoalkan itu. Karena oligarki itu adalah tuannya. Akibatnya makin lama APBN makin kempes.
Tapi masih ada jurus sakti. Pemerintah dipaksa berhemat. Seruan penghematan menggema di jahat keuangan. Ini adalah cara mengadu domba orang kere penerima paket hemat. Antara pemimpin dipaksa mencurigai bawahnya yang boros. Padahal bawahannya sudah lama mengencangkan ikat pinggang. Memang ada bawahan yang boros, tapi itu adalah antek oligarki sendiri, antek piaraan ini kapan kapan bisa untuk mengalihkan perhatian publik, sehingga orang awam nama pemerintah tetap jelek, birokrasi itu korup, rakus, dan lain sebagainya. Sementara oligarki penguasa sumber daya alam adalah penyumbang kemakmuran negara. Wah rapi juga cara kerjanya ya.
(***)