KedaiPena.Com – Data Kementerian Kesehatan tahun 2013 jelas menyatakan bahwa Penyakit Tidak Menular (PTM) meningkat tajam di beberapa tahun terakhir ini.
Hal ini terlihat dari data Biaya Pelayanan Kesehatan Penyakit Katastropik yang ditanggung JKN tahun 2014-2016 menunjukkan pada penyakit jantung dari Rp4,409 miliar pada tahun 2014, meningkat menjadi Rp7,423 miliar pada tahun 2016.
Di posisi kedua ada penyakit gagal ginjal yang mengalami kenaikan dari Rp1,626 miliar menjadi Rp2,586 miliar. Dan penyakit kanker, dari Rp1,538 miliar menjadi Rp2,295 miliar.
Salah satu PTM yang disorot oleh pemerintah adalah respiratori dan penyakit kardiovaskular. Yang disebabkan oleh kebiasaan merokok, makanan yang tidak sehat serta kurangnya olahraga.
Kepala Sub Direktorat Penyakit Paru Kronik dan Gangguan Imunologi, Direktorak Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan, dr. Theresia Sandra Diah Ratih, MHA mengungkapkan tercatat ada peningkatan tajam jumlah perokok dari tahun 2001 ke tahun 2016.
“Perilaku merokok, yang disertai oleh kurangnya bergerak ini sudah terbentuk sejak anak-anak berusia muda. Perokok laki-laki mencapai 66 persen atau bisa dikatakan 2 dari 3 laki-laki adalah perokok. Peningkatan tajam terlihat pada golongan laki-laki usia 15-19 tahun, yaitu dari 24,2 persen pada tahun 2001 menjadi 54 persen pada tahun 2016,†kata Sandra, Rabu (15/8/2018).
Kondisi ini didorong oleh tingginya paparan tentang rokok pada generasi muda dan kemudahan para generasi muda ini untuk mendapatkan rokok. Hal ini diungkapkan oleh Ketua Forum Anak Kabupaten Bogor, Maya Kornelia Musa, yang melakukan sebuah percobaan di lingkungannya.
“Dari social experiment yang kami lakukan, kami menemukan bahwa tidak ada batasan umur dalam membeli rokok. Ini terlihat, saat salah seorang anggota tim yang kami tugaskan, berumur kurang dari 17 tahun, untuk membeli rokok di salah satu toko. Pelayannya melayani saja, tanpa menanyakan KTP atau umur yang membeli,†kata Maya.
Dan Maya juga mengemukakan paparan iklan rokok, walaupun sudah ditayangkan pada jam malam, tetap mampu dilihat oleh anak-anak yang belum dewasa.
“Ditambah sekarang itu, membeli rokok kan gak perlu sebungkus. Misalnya rokok A yang harganya sekitar Rp20 ribu, itu bisa dibeli dengan diketeng. Istilahnya, hanya dengan uang 2.000 sudah dapat sebatang rokok. Nanti ngerokonya sama-sama,†ujarnya lebih lanjut.
Melihat perkembangan situasi ini, Programme Director Yayasan Plan International Indonesia (YPII) Dwi Yuliawati Faiz menyatakan bahwa ini merupakan suatu fenomena yang harus disikapi bersama-sama.
“Anak adalah agen perubahan, baik laki-laki maupun perempuan. Sehingga perlu diambil langkah-langkah untuk mendukung mereka tumbuh sehat. Dan langkah-langkah ini harus didukung oleh semua pihak, pemerintah, sekolah lingkungan dan orang tua,†ujar Dwi.
Program untuk menjadikan anak-anak bebas rokok ini, menurut Dwi, tidak dapat dilakukan hanya dengan melarang anak untuk merokok. Tapi harus dibarengi dengan langkah-langkah lainnya.
“Kalau orang tua melarang merokok, tapi dianya masih merokok ya susah juga. Malah ada sebagian besar orang tua malah mengizinkan anak laki-lakinya merokok, dengan dalih, masak laki-laki gak merokok. Atau ada yang melarang merokok tanpa memberi penjelasan, mengapa harus berhenti merokok,†papar Dwi.
Dwi menyatakan bahwa anak-anak harus diberikan pengarahan mengapa merokok itu tidak baik dan harus diberi kegiatan positif agar tidak terbawa pada kegiatan negatif.
“Anak muda itu biasanya mendengar dari orang yang sebayanya. Karena itu di YPII kami melatih orang-orang seumuran mereka untuk bisa memotivator mereka untuk berhenti merokok. Dan kami juga melakukan pendekatan dengan cara yang bisa mereka terima. Salah satunya, slogan yang saat ini kami kampanyekan adalah Tidak Merokok itu Cool,†kata Dwi.
Dari segi pemerintah, Dwi juga mengharapkan dapat mengadakan pelayanan kesehatan yang tanggap dengan kebutuhan anak muda. Juga kebijakan yang mempersempit akses anak-anak ini kepada rokok.
“Seperti di Puskesmas gitu, ya harus ada pelayanan bagi anak-anak untuk mengetahui efek buruk merokok, mengapa mereka harus berolahraga atau mengapa mereka harus makan buah atau sayur. Termasuk bahaya narkoba. Sehingga semua pihak menjadi satu untuk mencapai tujuan pemenuhan hak anak untuk hidup sehat,†kata Dwi lebih lanjut.
Laporan: Ranny Supusepa