KedaiPena.Com – Anggota Komisi XI DPR RI Fraksi Partai Golkar Puteri Anetta Komarudin menilai, rencana pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) terkait kenaikan tarif pajak penghasilan orang pribadi (PPh OP) kepada orang kaya sebesar 35 persen dapat menciptakan rasa keadilan.
Namun demikian, Putkom begitu ia disapa mengakui, langkah untuk memajaki kelompok High Wealth Individual ini bukanlah persoalan yang mudah.
“Mengingat mereka memiliki akses yang lebih baik kepada konsultan pajak sehingga mereka bisa menyiasati ketentuan tersebut. Terlebih, penyesuaian tarif PPh OP tertinggi menjadi 35% ini juga akan membuat selisih yang cukup lebar dengan tarif PPh Badan (sekarang di level 22%),” kata Putkom, Kamis, (27/5/2021).
Putkom menambahkan, penyesuaian tarif PPh OP tertinggi menjadi 35% ini juga akan membuat selisih yang cukup lebar dengan tarif PPh Badan dari yang sekarang di level 22%.
“Dimana hal ini berpotensi mendorong untuk memupuk penghasilannya di tingkat perusahaan seperti dividen. Untuk itu, pemerintah perlu memastikan kesiapan sistem administrasi pajak terhadap perubahan ini untuk meminimalisir celah bagi mereka yang berniat menyiasati ketentuan tersebut,” papar Putkom.
Selain itu, kata Putkom, pemerintah juga perlu menjamin ketersediaan data dan informasi yang memadai terkait kalangan tersebut untuk mengidentifikasi WP dan menjamin kepatuhannya.
” Salah satunya dapat diwujudkan dengan memanfaatkan Automatic Exchange of Information (AEoI) untuk memperoleh informasi yang akurat, komprehensif dan valid terkait data keuangan high wealth individual (HWI),” tegas Putkom.
Kemudian, lanjut Putkom, pemerintah juga dapat memanfaatkan data yang diperoleh dari adanya program tax amnesty pada tahun 2016.
“Melalui basis data tersebut, Wajib Pajak yang masuk kategori HWI dapat dikelompokan ke dalam pengawasan utama dan dapat diberikan secara optimal sehingga menjadi WP yang patuh (golden taxpayer),” tegas Putkom.
Putkom mengungkapkan, beberapa negara OECD seperti Australia dan Belgia telah menerapkan 5 lapisan pendapatan kena pajak orang pribadi. Begitupun, Jepang dan China yang menerapkan 7 lapisan.
Bahkan, Malaysia dan Singapura menerapkan 10 lapisan pendapatan kena pajak orang pribadi.
“Misal saja Jepang yang dikenal sebagai salah satu negara dengan pengenaan tarif pajak yang tinggi diikuti dengan penerapan bracket tersebut, kita lihat rasio gini Jepang kini berada di kisaran 0.290. Negara-negara Nordic seperti Denmark, Swedia yang juga menerapkan skema ini berada di jajaran negara dengan rasio gini terendah,” kata Putkom
Dengan demikian, Wasekjen Partai Golkar berharap, penambahan lapisan penghasilan kena pajak ini tentu saja akan menciptakan rasa keadilan sekaligus mendorong redistribusi pendapatan bagi masyarakat yang berpenghasilan rendah.
“Data Global Wealth Report 2019-Credit Suisse menyebutkan 82 persen penduduk dewasa di Indonesia memiliki kekayaan kurang dari 10.000 USD, sedangkan penduduk dewasa dengan kekayaan antara 100 ribu hingga 1 juta USD hanya kisaran 1,1 persen. Bahkan, Majalah Forbes menyebut sebagian besar konglomerat di Indonesia mengalami peningkatan kekayaan selama pandemi COVID-19,” tegas Putkom.
Putkom memandang, kelompok ini juga relatif tidak mengalami dampak yang dalam akibat pandemi. Padahal, adanya pandemi ini justru berimbas bagi kesejahteraan MBR yang ditunjukkan dengan peningkatan kemiskinan (menjadi 10,19%, Sept 20), penambahan jumlah pengangguran (sebesar 1,82 juta, Feb 21), bahkan rasio gini pun meningkat (menjadi 0,385, Sept 20).
“Namun, dibalik potensi tersebut, justru kontribusinya terhadap penerimaan negara masih belum sepenuhnya linear. Pasalnya, penerimaan pajak penghasilan (PPh) orang pribadi hingga akhir April 2021 mengalami kontraksi 3,39%. Pun pada April tahun sebelumnya, penerimaan PPh OP hanya sebesar Rp7,28 triliun atau jauh dari potensi yang seharusnya,” tandas Putkom.
Laporan: Muhammad Hafidh