Artikel ini ditulis oleh Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies).
FATF (Financial Action Task Force) adalah organisasi internasional antar-pemerintah untuk pemberantasan pencucian uang dalam arti luas, termasuk anti-terorisme.
FATF didirikan atas inisiatif negara G7 di Paris pada 1989. FATF saat ini mempunyai 39 anggota penuh, terdiri dari 37 negara dan 2 organisasi regional (Gulf Cooperation Council dan European Commission).
(Di samping itu, banyak negara yang menjadi anggota di organisasi regional yang “berafiliasi” dengan FATF)
Tidak semua negara bisa menjadi anggota penuh FATF, karena harus memenuhi standar dan kriteria minimum pemberantasan pencucian uang yang ditetapkan oleh FATF, termasuk kriteria peraturan dan hukum yang efektif dalam pemberantasan pencucian uang.
Indonesia menjadi satu-satunya negara di G20 yang belum menjadi anggota penuh FATF, karena tidak memenuhi kriteria FATF tersebut.
Sistem hukum di Indonesia dianggap belum memadai, khususnya untuk kasus pencucian uang dalam skala besar. Bahkan UU pemberantasan korupsi dilemahkan, melalui revisi UU KPK 2019.
Indonesia masih terus berusaha menjadi anggota penuh FATF. Untuk itu, Indonesia harus menunjukkan niat serius. Tidak bisa main-main dengan pencitraan.
Evaluasi dilakukan dari 18 Juli sampai 4 Agustus 2022. Hasilnya diumumkan akhir Februari 2023.
Sri Mulyani sebelumnya cukup yakin Indonesia kali ini bisa memenuhi standar dan kriteria FATF.
Ternyata meleset. Indonesia hanya memenuhi skor 4 dari 11 kriteria utama. Minimum skor 5. Indonesia gagal.
Salah satu faktor utama kegagalan Indonesia justru ada di Kemenkeu sendiri.
Pertama, laporan PPATK terkait dugaan pencucian uang yang melibatkan pegawai Kemenkeu sejak 2009 terabaikan, atau diabaikan.
Kemenkeu malah terkesan melindungi pegawainya meskipun terbukti korupsi atau menerima gratifikasi. Contohnya Denok Taviperiana dan Totok Hendriyatno. Mereka hanya diberhentikan dengan alasan melanggar disiplin PNS. Padahal terbukti menerima gratifikasi.
Kedua, Indonesia dinilai belum mampu menangani kasus pencucian uang dalam skala besar, dan tidak mampu menyita aset hasil kejahatan.
Di dalam rapat pleno FATF Februari yang lalu, dikatakan: “Indonesia ……, needs to focus more on pursuing larger scale money launderers and enhancing asset confiscation.”
Indonesia ….. perlu lebih fokus mengejar pelaku pencucian uang skala besar dan meningkatkan upaya penyitaan aset.
Oleh karena itu, Jokowi, melalui Mahfud MD, mengejar agar pemerintah dan DPR bisa menyelesaikan UU Perampasan Aset secepatnya, diharapkan selesai Juni 2023, sesuai batas waktu yang diberikan FATF, pada kesempatan kedua ini.
Kalau Indonesia tidak bisa memenuhi kriteria FATF, Indonesia dianggap negara yang rentan terhadap pencucian uang.
Sebagai konsekuensi, dana internasional tertahan. Indonesia terkucilkan.
[***]