Artikel ini ditulis oleh Ahmad Khozinudin, Sastrawan Politik.
Ada yang menarik yang bisa kita teladani dari sikap Para Sahabat, ketika mendengar kabar Penaklukan Konstantinopel dari lisan Baginda Rasulullah Muhammad SAW. Para sahabat tidak berdiam diri, mencukupkan diri dengan keyakinan, lalu menunggu kemenangan itu datang.
Tetapi para sahabat, berusaha sekuat tenaga, dengan segala daya dan upaya, mengupayakan terwujudnya kabar tersebut. Para Sahabat tidak mencukupkan diri hanya duduk, diam dan menunggu.
Ekspedisi penaklukan konstantinopel sudah dirintis sejak era Mua’wiyah. Bahkan, seorang sahabat yang tersisa, yang sudah sangat tua bernama Abu Ayub Al Anshory, ikut dalam ekspedisi yang dipimpin oleh Yazid bin Mua’wiyah, akhirnya syahid dalam upaya itu dan jasadnya dikubur di tanah konstantinopel.
Penaklukan konstantinopel, baru terjadi 29 mei 1953 setelah dikepung selama 53 hari. Penaklukan ini, dipimpin oleh seorang pemuda pemberani, yakni Muhammad Al Fatih.
Upaya untuk membuka kembali rencana penaklukan konstantinopel, sebelumnya banyak ditentang. Ada yang menyarankan lebih baik berkonsentrasi memelihara Khilafah yang sudah luas wilayahnya, menjaga perbatasan dan memelihara urusan rakyat dengan baik. Ketimbang, membuka konfrontasi dengan Konstantinopel yang dapat berujung pada kekalahan, yang kekalahan itu membahayakan eksistensi Khilafah Turki Utsmani.
Namun, dengan keteguhan hati dan keberanian, Muhammad Al Fatih tetap komitmen dalam keputusannya. Penaklukan konstantinopel sebagaimana telah dikabarkan oleh Rasulullah Saw, harus segera diwujudkan.
Upaya itu hampir gagal, karena adanya rantai besar tanduk emas, yang menjadi penghalang pasukan Muhammad Al Fatih untuk melintasinya dan menjangkau benteng konstantinopel. Akhirnya, setelah menemukan ide radikal menyeberangkan kapal diatas bukit, penaklukan dapat diwujudkan.
Ide menyeberangkan kapal ini, tidak disiapkan pada rencana awal. Melainkan, plan B yang muncul setelah berada pada situasi lapangan.
Dengan teknik ini, pasukan dapat melewati benteng pertahanan rantai tanduk emas, pasukan kaum muslimin dapat menjangkau gerbang konstantinopel, menyerang dan akhirnya menaklukannya.
Begitu juga hari ini, kita harus memiliki sikap teguh dan pemberani seperti yang dimiliki Muhammad Al Fatih, untuk merealisir Nubuwah Khilafah. Hari ini, kita tidak boleh menyelisihi sehelai rambut pun, tharîqah perjuangan Rasulullah Saw, apapun tantangan dan resikonya.
Misalnya, tak boleh menghindari benturan politik, pertarungan pemikiran, perjuangan politik, membongkar makar penguasa, dan melakukan darbul alaqot. Lalu, memfokuskan diri hanya dengan pembinaan dan pengkaderan, dengan dalih agar aman, karena konfrontasi dengan kekuasaan bisa berdampak pada serangan kekuasan pada perjuangan, yang akan merusak eksistensi perjuangan dan para pengembannya.
Percayalah, Allah SWT pasti menjaga para pengemban dakwah. Allah SWT, pasti menolong pengemban dakwah.
Strategi lapangan, seperti Muhammad Al Fatih yang menyeberangkan kapal melalui bukit, juga hanya muncul idenya setelah melakukan pertarungan di lapangan. Bukan melalui nasehat bijak dan motivasi yang disampaikan secara berulang, yang cenderung menjemukan.
Di lapangan, memang banyak tantangan, tetapi juga banyak peluang. Bahkan, di lapangan banyak harapan, harapan umat kepada para pengemban dakwah, untuk memimpin umat, menuju perubahan dan kebangkitan Islam, dengan tegaknya Daulah Khilafah. Ingat! Banyaknya strategi dan teori, tidak akan bernilai tanpa eksekusi. Dan eksekusi, hanya dilakukan oleh mereka yang pemberani.
Mari, tingkatkan keberanian, susuri semua medan perjuangan. Sebab, kemenangan hanya diperuntukan bagi mereka para pemberani.
Jangan menunggu Khilafah tegak 100 tahun lagi, kasihan umat ini. Berjuanglah dengan segenap kemampuan dan keberanian, hingga muncul keyakinan seolah besok Khilafah akan tegak berdiri. Allahu Akbar!
[***]