Artikel ini ditulis oleh Achmad Nur Hidayat, MPP, Pakar Kebijakan Publik dan Ekonom UPN Veteran Jakarta.
Perayaan Hari Ulang Tahun Republik Indonesia (HUT RI) ke-79 di Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara tahun ini telah berlangsung dengan segala kemegahan yang bisa dibayangkan.
Pemerintah tampaknya ingin menjadikan IKN sebagai simbol dari proyek IKN Indonesia yang modern dan berkelanjutan. Namun, di balik kemegahan itu, tersembunyi sebuah realitas pahit, investor IKN tidak juga kunjung datang. Kemudahan investasi, kemudahan penguasaan tanah sampai 190 tahun, bebas pajak dan insentif lainnya tidak cukup memghadirkan investasi asing ke tengah-tengah IKN.
Ditambah lagi realitas pahit lainnya yang mencerminkan ketimpangan yang semakin nyata antara ambisi besar pemerintah dan kenyataan hidup masyarakat yang berada di sekitar proyek besar tersebut.
Dengan anggaran yang membengkak menjadi Rp87 miliar hanya untuk perayaan HUT RI, pemerintah seolah ingin menunjukkan kepada investor bahwa IKN bukan hanya sekadar ibu kota baru, tetapi juga sebuah simbol kebanggaan nasional.
Namun, di tengah euforia ini, muncul pertanyaan yang menggelitik: apakah kemegahan ini benar-benar mencerminkan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia, atau justru menciptakan jurang ketimpangan yang semakin dalam?
Ketimpangan ini terlihat jelas dalam prioritas pengeluaran negara. Di satu sisi, ada pembangunan infrastruktur megah dan perayaan yang megah, sementara di sisi lain, kebutuhan dasar masyarakat sekitar IKN sering kali terabaikan.
Warga yang telah lama tinggal di daerah tersebut harus berjuang dengan kondisi infrastruktur yang belum memadai, bahkan ketika mereka dihadapkan pada kenyataan pahit kehilangan lahan dan mata pencaharian mereka demi proyek ini.
Anggaran Fantastis di Tengah Ketimpangan
Pemerintah mengalokasikan anggaran besar untuk IKN pada tahun 2024, yakni Rp42,5 triliun, dengan Rp87 miliar khusus untuk perayaan 17 Agustus.
Ini adalah lonjakan signifikan dari tahun lalu, yang hanya sebesar Rp52 miliar.
Sayangnya, anggaran ini tidak hanya mencerminkan ambisi besar pemerintah, tetapi juga ketimpangan yang semakin melebar antara kebutuhan infrastruktur megah dan hak-hak dasar masyarakat lokal yang terpinggirkan.
Ketimpangan ini menjadi semakin mencolok ketika kita melihat bagaimana dana yang besar digunakan untuk proyek-proyek yang sering kali tidak menyentuh kebutuhan mendesak masyarakat.
Di satu sisi, pemerintah berusaha menampilkan IKN sebagai simbol kemajuan dan modernitas bangsa. Namun, di sisi lain, banyak warga yang masih harus berjuang untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti air bersih, pendidikan, dan kesehatan.
Anggaran besar yang dikeluarkan untuk perayaan ini seakan-akan menjadi pengingat pahit bahwa prioritas pemerintah tidak selalu selaras dengan kebutuhan rakyatnya. Pertanyaan yang muncul adalah, apakah kemegahan yang ditampilkan ini benar-benar mencerminkan kesejahteraan rakyat, atau hanya sekadar simbol kekuasaan dan ambisi yang mengabaikan realitas di lapangan?
Pembangunan IKN, yang seharusnya membawa kemakmuran bagi seluruh rakyat, justru meninggalkan jejak ketidakadilan yang sulit diabaikan. Banyak masyarakat lokal yang merasa tersingkirkan dan tidak mendapat manfaat dari pembangunan ini.
Pembangunan yang Setengah Hati
Banyak fasilitas di IKN yang masih jauh dari kata selesai. Area yang dibangun untuk menunjang perayaan 17 Agustus, seperti Plaza Seremoni dan lapangan, memang sudah siap.
Namun, banyak infrastruktur penting lainnya, termasuk perumahan ASN dan fasilitas umum, masih dalam tahap pembangunan dengan kondisi jalan yang berlumpur dan berdebu.
Sementara itu, masyarakat di sekitar IKN harus berjuang dalam kondisi infrastruktur yang belum memadai.
Pembangunan yang tergesa-gesa ini menimbulkan berbagai masalah, mulai dari infrastruktur yang tidak siap hingga dampak lingkungan yang semakin parah.
Masyarakat yang tinggal di sekitar proyek harus berhadapan dengan polusi udara akibat debu dan lumpur yang dihasilkan dari proyek konstruksi yang setengah jadi.
Kondisi ini semakin diperparah dengan kurangnya akses terhadap fasilitas dasar seperti listrik dan air bersih. Bagi mereka, kemajuan yang dijanjikan oleh pemerintah justru menjadi sumber penderitaan baru.
Ketika IKN digadang-gadang sebagai simbol masa depan Indonesia, realitas di lapangan menunjukkan bahwa pembangunan ini masih jauh dari harapan banyak pihak, terutama mereka yang terdampak langsung oleh proyek ini.
Kearifan Lokal yang Terlupakan
Di balik megahnya pembangunan, ada cerita tentang masyarakat adat yang merasa diabaikan dan kehilangan hak-hak mereka.
Mereka, yang telah menjaga tanah leluhur mereka selama berabad-abad, kini harus berhadapan dengan kenyataan bahwa lahan mereka diambil alih tanpa melalui proses yang menghormati kearifan lokal. Ritual adat yang seharusnya menjadi bagian dari proses pembangunan tidak dilakukan, meninggalkan luka mendalam di hati masyarakat yang merasa terpinggirkan oleh proyek nasional ini.
Kearifan lokal yang seharusnya menjadi bagian integral dari proses pembangunan sering kali diabaikan dalam proyek-proyek besar seperti ini.
Masyarakat adat yang memiliki hubungan erat dengan tanah mereka dipaksa untuk meninggalkan kehidupan yang telah mereka jalani selama berabad-abad.
Proses pengambilalihan lahan sering kali dilakukan dengan cara yang tidak transparan dan tidak melibatkan masyarakat dalam pengambilan keputusan.
Akibatnya, banyak masyarakat adat yang merasa kehilangan identitas dan koneksi spiritual mereka dengan tanah leluhur. Pemerintah perlu menyadari bahwa pembangunan yang berkelanjutan tidak hanya mengandalkan infrastruktur fisik, tetapi juga harus menghargai dan melibatkan kearifan lokal yang telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat setempat selama berabad-abad.
Konflik yang Tak Berkesudahan
Sebelum adanya IKN, masyarakat setempat telah lama berkonflik dengan perusahaan besar terkait kepemilikan lahan.
Kini, konflik tersebut semakin kompleks dengan kehadiran pemerintah sebagai pelaku utama pembangunan. Pengambilalihan lahan sering kali dilakukan tanpa sosialisasi yang memadai, dengan kompensasi yang jauh dari harapan warga.
Rakyat kecil yang berusaha mempertahankan haknya sering kali dihadapkan pada tembok tebal birokrasi dan hukum yang tidak berpihak.
Konflik agraria yang telah lama terjadi di Indonesia kini mendapatkan dimensi baru dengan kehadiran proyek IKN. Masyarakat yang telah lama memperjuangkan hak atas tanah mereka kini harus menghadapi tekanan yang semakin besar, baik dari pemerintah maupun perusahaan besar yang terlibat dalam proyek ini.
Pengambilalihan lahan sering kali dilakukan dengan cara yang tidak adil dan tidak memberikan kompensasi yang layak bagi masyarakat. Dalam situasi ini, rakyat kecil yang berusaha mempertahankan haknya harus berhadapan dengan birokrasi yang kompleks dan sistem hukum yang sering kali tidak berpihak kepada mereka. Pemerintah perlu mengambil langkah-langkah serius untuk menyelesaikan konflik ini dengan cara yang adil dan berkelanjutan.
Apakah Kemerdekaan Masih Milik Rakyat?
Ironisnya, perayaan kemerdekaan yang seharusnya menjadi momen kebanggaan bersama, justru meninggalkan pertanyaan besar: apakah kemerdekaan masih milik rakyat?
Ketika sebagian besar anggaran negara digunakan untuk membangun simbol kemegahan nasional, hak-hak dasar masyarakat lokal seakan terabaikan. Pemerintah harus merenungkan, apakah pembangunan yang dikejar dengan ambisi besar ini benar-benar untuk kepentingan seluruh rakyat, atau hanya segelintir pihak saja?
Di tengah gegap gempita perayaan HUT RI ke-79, suara-suara mereka yang terpinggirkan mungkin tidak terdengar nyaring.
Namun, kisah mereka adalah pengingat bahwa pembangunan tidak boleh mengorbankan keadilan sosial.
Di saat bendera merah putih berkibar di IKN Nusantara, ada baiknya kita juga merenung sejenak untuk mendengar suara rakyat yang menjerit di balik kemegahan ibu kota baru. Pemerintah perlu menyadari bahwa kemerdekaan yang sejati adalah kemerdekaan yang dapat dirasakan oleh seluruh rakyat, tanpa terkecuali.
Pemerintah harus merenungkan kembali arah pembangunan ini. Ambisi besar yang diwujudkan melalui proyek-proyek monumental tidak boleh mengorbankan keadilan sosial.
Kemegahan IKN harus berjalan beriringan dengan upaya untuk memastikan bahwa semua lapisan masyarakat merasakan manfaat dari pembangunan ini.
Jika tidak, kemegahan yang ditampilkan hanyalah sebuah ilusi yang menutupi realitas ketimpangan yang semakin nyata. Inilah tantangan terbesar yang harus dihadapi oleh pemerintah: bagaimana menjadikan pembangunan sebagai alat untuk mengurangi, bukan memperdalam, ketimpangan sosial di Indonesia.
Perayaan HUT RI adalah momen yang seharusnya menjadi simbol persatuan dan kebanggaan bagi seluruh rakyat Indonesia. Namun, di tengah gegap gempita perayaan yang diselenggarakan di IKN Nusantara, terdapat kisah pilu dari masyarakat setempat yang harus menanggung beban berat dari ambisi pembangunan nasional ini. Bagi mereka, kemegahan perayaan ini terasa seperti ironi, di mana perayaan kemerdekaan justru diiringi dengan hilangnya hak-hak dasar yang selama ini mereka nikmati.
[***]