UNTUK menghentikan proses kerusakan bangsa ini kami dan kawan-kawan telah coba tawarkan kembali ke pemiliran awal pendiri negara ini. Yakni yang tertuang dalam UUD 45 yang disahkan tanggal 18 Agustus 1945.
Sudah panjang adu argumentasi soal ini. Kami yakin ini jalan yang bisa menyelamatkan NKRI. Bahwa ada kekurangan kami juga sudah tawarkan ada cara dan jalan untuk mengatasinya yang kami rangkum dalam kata bahwa UUD 45 itu untuk disempurnakan. Ini juga sudah melewati perdebatan panjang. Bila jalan ini pun tak bisa disepakati dan mau lanjut dengan jalan sesat monggo saja.
Hampir menjadi kesadaran umum bahwa praktek demokrasi liberal sekarang telah membuat bangsa kita menjadi tidak jelas arah dan tujuannya, nasionalisme menjadi buram, sekelompok orang menjadi sangat kaya raya, sebagian besar rakyat jadi miskin, manusia jadi serakah dan materialistik, hidup sangat individualistik.
Budaya hedonisme, exibishionisme, narsisme mewabah. Semangat kekeluargaan, sopan santun, saling menghargai menjadi runtuh. Perpecahan bangsa setiap saat mengancam. Manusia Indonesia seakan kehilangan jati diri. Kedaulatan pemodal lebih dominan dari kedaulatan negara.
Sekarang sejarah berulang kembali, UUD 45 hasil amandemen 2002, ternyata berimplikasi luas terhadap tatanan kehidupan bermasyarakat kita. Secara politik, ekonomi, sosial budaya, keamanan dan lain-lain telah sangat liberal. Banyak kalangan resah dan gelisah. Sehingga timbul anggapan kita telah tersesat, karena itu kita harus kembali ke titik awal kita berangkat, yaitu kembali ke roh perjuangan awal kita mendirikan negara ini, yaitu yang tertuang dalam Pembukaan dan Batang Tubuh UUD 45.
Kita kembali ke sini dulu, sebagai layaknya orang yang tersesat mencari titik start berangkatnya, agar bisa menyusur jalan benar. Maka makin menguat keyakinan bahwa kembali ke UUD 45 18 Agustus 45 (untuk disempurnakan itu) adalah cara bijak. Bukan dengan melanjutkan amandemen yang akan makin menyesatkan.
Namun gagasan kembali ke UUD 45 18 Agustus 1945 selalu dicurigai sebagai upaya mengajak kembali ke era kegelapan, era penindasan, era fasisme, era militerisme, selama 32 tahun kekuasaan Soeharto atau kediktatoran seperti zaman jelang akhir kekuasaan Soekarno.
Padahal penerapan UUD 45 di era Soekarno juga mendapat kritik dari Bung Hatta dan lain-lain. Demikian juga di era Soeharto mendapat kritik keras dari Jenderal AH Nasution, M Natsir, Ali Sadikin dan lain-lain yang tergabung dalam Petisi 50 serta gerakan mahasiswa 1974 dan 1977/1978.
Artinya apa yang diterapkan oleh Soekarno di akhir kekuasaannya maupun selama 32 tahun Soeharto  berkuasa bukanlah yang ideal.
Dengan kata lain UUD 45 18 Agustus 1945 belum pernah diimplementasikan dengan benar sepenuhnya, sehingga kita mesti berjuang terus untuk melaksanakan dengan murni dan konsekuen.
Dalam hal demokrasi Bung Karno pernah merumuskan istilah demokrasi terpimpin yang dalam penerapannnya dianggap berujung ke diktator. Soeharto dalam pidatonya di awal kekuasaannya pada 16 Agustus 1967 merumuskan demokrasi pancasila dengan kalimat indah dan bagus seperti kutipan dalam pendahuluan di atas.
Pidato tersebut sangat menyihir dan paling sering dikutip oleh Petisi 50. Pak Natsir pun tertarik dengan pidato awal Soeharto berkuasa ini, sehingga di awal kekuasaan Soeharto, bekas Perdana Menteri dan Tokoh Partai Masyumi tersebut mau mendukung Soeharto. Namun Natsir pun kecewa dengan Soeharto sehingga bergabung bersama Petisi 50 menentang Soeharto.
Jadi adalah keliru besar bila ada anggapan bhwa kembali ke UUD45 18 Agustus 1945 sebagai upaya mengajak ke era diktator dan fasis militeristik. Apalagi zaman telah berubah, kesadaran atas hak azasi manusia, pemahaman akan hukum telah meningkat pesat.
Militer Indonesia pun telah belajar banyak atas kekeliruan di masa lalu dan melakukan redefinisi atas perannya di era yang makin terbuka ini, sehingga tidak mungkin mengulang sejarah kelam peran yang pernah dimainkan oleh Soeharto.
Di era informasi yang serba terbuka ini dimana tidak ada lagi kekuatan yang memonopoli informasi, maka kekuasaan yang akan berlaku otoriter atau diktator akan selalu dibully (diejek) oleh publik nasional maupun internasional.
Kita kembali ke UUD 45 18 Agustus 1945 adalah untuk menemukan kembali jatidiri kita sebagai bangsa yang hidup dalam alam musyawarah mufakat, kekeluargaan dan berjuang untuk kemajuan bersama, bukan untuk saling jegal menjegal dan mengejar kemajuan masing-masing.
Kembali ke UUD 45 18 Agustus 1945 adalah upaya kita kembali ke titik start untuk menemukan roh murni dari makna terdalam perjuangan para pendiri bangsa kita, menegakkan nasionalisme kita, karena kita telah tersesat dalam arah yang keliru dalam mencapai tujuan kemerdekaan kita.
Kembali ke UUD 45 18 Agustus 1945 bukan untuk mengkeramatkan konstitusi karena kita tetap punya ruang untuk menyempurnakannya. Misalnya pembatasan masa jabatan Presiden, dengan cermat dan hati-hati, bukan perubahan secara serampangan.
Karena konstitusi AS pun diubah secara hati-hati, kata perkata. Tidak asal buang atau memasukkan kalimat secara “borongan†sehingga kehilangan makna historis dan filosofis sebagaimana yang dimaksud para pendiri bangsa.
Di era di mana alat komunikasi dan informasi serba terbuka ini masih ada ya g berpikir bahwa akan lahir diktator baru karena menggunakan sistem ketatanegaraan UUD 45 18 Agustus 1945, saya kira terlalu naif.
Dulu Soeharto dengan militerismenya bisa dominan karena rezim antara lain menguasai komunikasi dan informasi secara telak (monopoli). Sekarang rakyat di Merauke bisa dalam sekejap tahu apa yg sesungguhnya terjadi di Jakarta, bagaimana mau berlaku diktator atas mereka?
Karena rakyat mampu meng-counter lewat alat komunikasi yang mereka miliki dari sudut sudut kamarnya? Jadi sangat konyol menyatakan kembali UUD45 18 Agustus 1945 sebagai upaya kembali ke sistem diktator.
Yang dibutuhkan kesabaran kita untuk terus koreksi dan koreksi atas konsep ketatanegaraan dalam UUD 45. Biarlah terus menerus terjadi dialektika seperti di era Soekarno yang dikritik Bung Hatta, atau di era Soeharto yang dikritik Petisi 50.
Dengan cara itu konstitusi kita akan teruji dan makin kuat. Bukan dengan membantai seperti yang terjadi dengan amandemen yang dilakukan sejak 1999 sampai 2002 yang melahirkan UUD 2002 yang sekarang kita rasakan sebagai ancaman yang akan menghancurkan NKRI.
Oleh M.Hatta Taliwang, Direktur Institut Soekarno Hatta (ISH)