Artikel ini ditulis oleh Hendrajit, Pengkaji Geopolitik, dan Direktur Eksekutif Global Future Institute.
SUDAH banyak kalangan yang menggagas ide kembali ke UUD 1945 asli. Tentu saja saya setuju sekali itu. Namun ketika mulai mengarah pada visi-misi dan strategi pergerakannya, saya selalu dibuat kecewa.
Karena spirit-nya bukan revolusi, tapi restorasi. Ingin mengembalikan segala produk lama ke tempat semula.
Tanpa berpikir bahwa para bapak bangsa yang hidup dan berkiprah di era dulu pun ingin ada penyempurnaan, mengingat kondisi yang serba darurat dan mendesak saat Jepang kalah terhadap sekutu, lalu menjadi momentum buat Indonesia menyatakan kemerdekaannya.
Para penggagas ide kembali ke UUD 1945 mengabaikan sebuah fakta sejarah penting, bahwa UUD 1945 lahir dari rahim revolusi rakyat yang menuntut Indonesia merdeka secepat-cepatnya berkat usaha dan perjuangan kita sendiri.
Manakala spirit kembali ke UUD 1945 adalah mengembalikan dulu spirit proklamasi 17 Agustus 1945, maka cara pandang pergerakan untuk mewujudkan kembali UUD 1945 asli haruslah progresif revolusioner. Bukan reaktif revolusioner.
Ketika ide kembali ke UUD 1945 asli didasari spirit reaktif revolusioner, maka para penggeraknya pun terhipnotis sehingga tidak bisa membedakan antara revolusi dan rusuh sosial. Tidak bisa membedakan antara revolusi dan putsch atau makar.
Tidak bisa membedakan apakah substansi dari ide kembali ke UUD 1945 itu bermaksud mengubah tatanan sistem sekarang yang pseudo democracy afau demokrasi semu dan menyumbat aspirasi rakyat, atau sekadar mau mengganti pemimpinnya saja tapi sistem hakikatnya sama.
Maka dalam berjuang, kenali dan ketahui dulu substansi masalahnya, susun visi-misi atau skema, baru menyusun strateginya. Substansi masalah krisis tatanan demokrasi saat ini bukan karena demokrasi sudah kebablasan.
Tapi demokrasi semu sekarang ini, malah jadi juru pawang menangkal masuknya sumberdaya manusia terbaik bangsa ke dalam tatanan politik. Bukannya menyaring dan merekrut orang-orang terbaik bangsa masuk ke dalam tatanan politik. Dengan begitu, demokrasi nyata dalam prakteknya belum terlaksana.
Di sinilah kita bisa berkonsultasi pada para tokoh dan bapak bangsa bagaimana para beliau berkumpul dan menyusun visi misi yang kelak kita kenal sebagai NKRI dalam rapat pleno BPUPKI dan PPKI menjelang kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945. Bukannya ngelamun kembali ke era Orde Baru dengan semangat menghidupkan kembali museum.
Ketika kita menyerap kembali osmosis berkumpulnya para bapak bangsa pada 1945 itu, yang patut jadi pembelajaran adalah bukan mengapa para beliau berkumpul, melainkan bagaimana 60 oang putra putra terbaik bangsa itu bisa berkumpul dan membuat sejarah. Padahal di tengah begitu represifnya pemerintah kolonial Jepang kala itu.
Kita jangan cuma bisa tadabur alam, tapi juga harus bisa tadabur sejarah. Bangsa yang besar adalah bangsa yang hidup dengan sejarah tapi tidak larut di kuil masa lalu.
[***]