“BUKAN saya yang suruh”. Mungkin itu kalimat yang dilontarkan Pak Jokowi saat ditanya soal majunya sanak saudara dalam pilkada di beberapa daerah.
Setelah putranya Gibran Rakabuming Raka dan Bobby Nasution sang mantu, maka adik ipar pun ikutan yaitu Wahyu Purwanto. Wahyu maju Pilkada Gunung Kidul. Konon Dolly Sinombala Siregar paman Bobby Nasution juga maju.
Kalimat itu juga mungkin yang akan disampaikan Wapres Ma’ruf Amin saat ditanya soal anaknya, Siti Azizah yang santer dikabarkan maju di Pilkada Tangsel.
Nah politik dinasti sedang bergerak. Meskipun ruangnya adalah kompetisi akan tetapi peran presiden dan wapres tetap memberi pengaruh.
Politik dinasti adalah politik kekerabatan yang mencoba membangun kerajaan kecil di negara demokrasi. Modal sebagai kerabat presiden atau wapres sangat bernilai dalam persaingan.
Jaringan yang dimiliki presiden dan wapres dapat dan kemungkinan besar akan dimanfaatkan. Demikian juga dalam penggalangan dana tentu signifikan. Presiden menjadi bahan jualan.
“Power is sweet, it is a drug, the disire of which increases with a habit” kata Bertrand Russel.
Menurutnya memang kekuasaan itu manis dan bisa menjadi candu. Jokowi dan Ma’ruf Amin sudah merasakan manisnya kekuasaan untuk kehormatan, pelayanan dan keuangan.
Oleh karenanya pandangan awal soal anak yang tidak akan didorong terjun dalam kancah politik menjadi berubah. Bahkan langkah pun melebar ke menantu dan ipar. Jika ditanya motif dan dorongan, tentu tidak akan berterus terang. Namanya juga politik.
Soekarno saat menjabat tidak menempatkan dan mendorong kerabat. Soeharto juga tidak. Begitu dengan Presiden yang lain. Setelah menjabat SBY dan Megawati memang potensial.
Jokowi-lah yang di saat menjabat mendorong atau membiarkan anak, menantu, ipar, dan saudara maju berburu jabatan. Figur-figur ini bukan yang dikenal berpengalaman dalam politik.
Aset besarnya adalah nama presiden dan ini menjadi bukti bahwa akan terbangun politik dinasti.
Sebagai Presiden yang juga banyak disorot kapasitas, integritas, dan kredibilitasnya semestinya ia bertindak agak bijak. Mengerem sanak saudara untuk berburu jabatan politik.
Bukan berarti membatasi hak akan tetapi agak sedikit tahu diri dan mampu membaca perasaan rakyat. Rakyat mulai jengkel bahkan muak dengan permainan politik istana yang cenderung koruptif baik dari segi kekuasaan maupun keuangan.
Negara ini dimainkan bagai keluarga dan kekerabatan. Sang bapak sedang membagi bagi “angpaw” dan penganan.
Orang di sekitar turut menadahkan tangan dan membuka mulut menunggu disuapi. Minta posisi, kursi, dan balas jasa atas prestasi.
Kasus Denny JA cukup memalukan, belum yang lainnya yang sudah lebih dulu menerima sedekah politik.
Budaya politik dinasti sedang dibangun Jokowi. Anak mantu bergerak menuju variasi jabatan di waktu yang sama. “A lineage of hereditary succesion to an essentially same position or various positions at the same time”.
Jika bangsa ingin sehat maka politik dinasti harus dicegah. Karena ini merupakan pelecehan atas sumber daya manusia yang unggul.
Penyingkiran kualitas atas dasar “kefamilian” jelas merusak politik demokratik dan egalitarian. Bila terus dipaksakan, maka tiada lagi sikap dan pilihan rakyat selain, stop kekuasaan itu sekarang juga.
Oleh M Rizal Fadillah, Pemerhati Politik