KedaiPena.Com – Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) beserta serikat buruh lainnya, AGN dan FSP Kahutindo memutuskan untuk keluar dan mengundurkan diri dari tim teknis RUU Omnibus Law Cipta Kerja.
Tim ini sebenarnya dibentuk Kementerian Ketenagakerjaan dengan tujuan untuk mencari jalan keluar atas buntunya pembahasan klaster ketenagakerjaan, sekaligus untuk menindaklanjuti kebijakan Presiden Jokowi dan Ketua DPR RI yang menunda pembahasan klaster ketenagakerjaan.
Ketua KSPI, Said Iqbal mengungkapkan, setidaknya ada empat alasan mengapa pihaknya beserta serikat buruh lainnya memutuskan untuk keluar dari tim teknis pembahasan RUU Cipta Kerja.
“Pertama, tim tidak memiliki kewenangan untuk mengambil keputusan dan kesepakatan apapun. Tetapi hanya mendengarkan masukan dari masing-masing unsur,” ujar dia dalam keterangan, Minggu, (12/7/2020).
Kedua, kata dia, unsur Apindo dan Kadin dengan arogan mengembalikan konsep RUU usulan dari unsur serikat pekerja dan tidak mau meyerahkan usulan konsep secara tertulis.
“Jika hanya sekedar mendengarkan masukan dan ngobrol-ngobrol saja, secara resmi kami sudah menyampaikan masukan berupa konsep RUU secara tertulis kepada pemerintah dan APINDO atau KADIN. Tetapi kemudian secara arogan konsep serikat pekerja tersebut dikembalikan oleh unsur tersebut. Barangkali mereka merasa di atas angin karena merasa didukung oleh unsur pemerintah,” geram Said Iqbal.
Dengan demikian, Saiq Iqbal berpendapat, hal ini menyalahi prinsip tripartite dan norma-norma dalam dialog sosial yang mengedepankan kesetaraan, kebebasan berpendapat, dan saling percaya untuk mengambil keputusan besama secara musyawarah dan mufakat.
“Sebagaimana juga termaktub dalam konvensi ILO no 144 tentang Tripartit yang sudah diratfikasi pemerintah Indonesia,” beber dia.
Ketiga, tegas dia, ada kesan pembahasan akan dipaksakan selesai pada tanggal 18 Juli 2020. Dengan jumlah pertemuan yang hanya 4-5 kali, serikat buruh memiliki dugaan ini hanya jebakan dan alat untuk mendapatkan legitimasi dari buruh.
“Karena tidak mungkin membahas pasal-pasal yang sedemikian berat hanya dalam 4-5 kali pertemuan,” jelas dia.
Iqbal menambahkan, kalangan buruh juga pembahasan RUU Omnibus Law hanya formalitas dan jebakan saja dari pemerintah yang diwakili kemenaker dalam memimpin rapat tim.
“Agar mereka mempunyai alasan, bahwa pemerintah sudah mengundang serikat pekerja dan serikat buruh untuk didengarkan pendapatnya. Dengan kata lain pemerintah yang diwakili Kemenaker hanya sekedar ingin memenuhi unsur prosedur saja bahwa mereka telah mengundang pekerja masuk dalam tim dan tidak menyelesaikan Substansi materi RUU Omnibus Law yang ditolak buruh tersebut,” imbuh dia.
Iqbal menerangkan, alasan KSPI mundur dari tim lantaran masukan disampaikan hanya sekedar ditampung, tetapi tidak ada kesepakatan dan keputusan apapun dalam bentuk rekomendasi dalam menyelesaikan substansi masalah omnibus law.
Padahal, tegas dia, yang harus diselesaikan adalah substansi dari klaster ketenagakerjaan yang menghapus upah minimum yaitu UMK dan UMSK dan memberlakukan upah per jam di bawah upah minimum.
Tidak hanya, itu juga mengurangi nilai pesangon, penggunaan buruh outsorcing dan buruh kontrak seumur hidup untuk semua jenis pekerjaan, waktu kerja yang eksploitatif dan menghapus cuti dan menghapus hak upah saat cuti, kemudahan masuknya TKA buruh kasar di Indonesia.
Kemudian mereduksi jaminan sosial, mudahnya PHK sewenang wenang tanpa izin pengadilan perburuhan, dan hilangnya beberapa sanksi pidana untuk pengusaha.
“Berdasarkan 4 alasan di atas, kami dari KSPI, KSPSI AGN, dan FSP Kahutindo keluar dan mengundurkan diri dari tim teknis Omnibus Law RUU Cipta Kerja Klaster Ketenagakerjaan,” papar Iqbal.
Sedangkan yang masih tetap berada di dalam tim adalah serikat pekerja KSBSI bersama beberapa serikat pekerja yang lainnya, mereka harus bertanggung jawab penuh bilamana Omnibus Law RUU Cipta Kerja yang merugikan buruh ini tetap dipaksa untuk disahkan.
“Dengan keluarnya dari tim, kami tidak bertanggungjawab atas apapun hasil dari pembahasan tim tersebut. Kami tidak ingin masuk di dalam tim yang hanya sekedar menampung masukan saja tanpa keputusan, dan hanya sebagai alat legitimasi dan menjadi tukang stempel terhadap pengesahan RUU Cipta Kerja,” pungkas Iqbal.
Laporan: Sulistyawan