Artikel ini ditulis oleh Defiyan Cori, Ekonom Konstitusi.
Penulis dalam setiap kesempatan selalu mendapatkan pertanyaan dari berbagai pihak, yaitu mungkinkah Indonesia dapat keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah (middle income country trap)? Tanggapan atas pertanyaan tersebut tidak begitu mudah untuk menjawab secara pasti atau bisa mungkin dan juga tidak mungkin. Mayoritas semangat penyelenggara negara yang bertujuan mencapai visi Indonesia Emas 2045 pasti menyatakan mungkin dan sangat mungkin keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah. Alasannya, yaitu pertumbuhan ekonomi Indonesia yang relatif baik antara 4-5 persen ditengah capaian negara-negara maju yang hanya berada dikisaran 1-2 persen saja.
Tentu saja kemungkinan keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah itu tidak hanya soal capaian pertumbuhan ekonomi saja. Menjadi negara maju sebagaimana beberapa negara yang tergabung dalam Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) atau organisasi internasional yang bergerak dalam bidang ekonomi dan pembangunan haruslah memiliki pendapatan rata-rata penduduk disuatu negara dalam periode waktu tertentu mencapai antara US$12.375 – 15.000 atau Produk Domestik Bruto (PDB) minimal US$11.906. Sementara itu, PDB Indonesia atas dasar harga berlaku tahun 2023 hanya mencapai Rp20.892,4 triliun atau ekuivalen US$1.347,9 miliar dan pendapatan per kapita hanya mencapai Rp75 juta atau US$4.919,7.
Artinya, Indonesia membutuhkan tambahan PDB minimal sebesar US$10.557,1 dan pendapatan per kapita minimal US$7.455,3 atau Rp115.557.150 agar dapat ditetapkan dan bergabung dalam OECD sebagai negara maju. Untuk mencapai angka minimal tersebut pertumbuhan ekonomi Indonesia haruslah diatas 6 persen per tahun agar pada tahun 2045 dapat keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah. Negara dengan pendapatan tinggi masuk sebagai negara maju atau memiliki pendapatan per kapita minimal US$11.906 per tahun. Agar mampu mencapai angka tersebut pada tahun 2045, maka tambahan pendapatan US$10.600 harus diperoleh dengan proporsi sejumlah US$530 per kapita/tahun atau Rp7,95 juta per kapita/tahun.
Salah satu cara untuk keluar dari jebakan itu, adalah dengan meningkatkan pertumbuhan investasi diberbagai sektor melalui perbaikan kebijakan iklim investasi. Sebab, walaupun, menurut catatan Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) realisasi investasi pada periode 2023 mencapai Rp1.418,9 triliun atau melampaui sasaran (target) yang sebelumnya ditetapkan sebesar Rp1.400 triliun (selisih 101,3%) tidak berpengaruh apapun terhadap perbaikan PDB dan pendapatan per kapita secara signifikan. Dengan investasi sejumlah itu, PDB Indonesia tidak terungkit lebih besar atau besaran yang menunjukkan nilai tambahan modal/capital (investasi) baru yang dibutuhkan untuk menaikkan/menambah satu unit output yang dikenal dengan Incremental Capital Output Ratio (ICOR) tidak mencapai sasaran pertumbuhan ekonomi yang diharapkan.
ICOR Indonesia pada tahun 2023 masih diangka yang tinggi, yaitu sebesar 6,5 yang berarti perekonomian Indonesia dengan capaian pertumbuhan ekonomi, PDB dan per kapitanya tidak efektif dan efisien. Apabila, tujuan Indonesia Emas 2045 melalui predikat negara maju memang serius ingin dicapai, maka segala persyaratan efektifitas dan efisiensi memacu pertumbuhan investasi harus dipenuhi. Membentuk portofolio kabinet di pemerintahan Presiden terpilih Prabowo Subianto periode 2024-2029 menjadi tambah gemuk bukanlah kebijakan yang tepat dan masuk akal (rasional). Belum lagi, berbagai permasalahan dibirokrasi yang karakter personalianya justru memperlambat kemungkinan tercapai PDB dan pendapatan per kapita 5 kali lipat dibanding saat ini.
Oleh karena itu, tidak akan mungkin dapat keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah atau middle income country trap jika ICOR tidak bisa mencapai 2-3 persen. Apalagi, negara dengan pendapatan tertinggi saat ini memiliki PDB dan pendapatan per kapita diantara US$67.000-143.320 atau Rp1,03-2,2 miliar lebih, yangmana tahun 2024 adalah negara Luksemburg. Untuk bisa mengejar PDB dan pendapatan per kapita Malaysia tahun 2023 sejumlah US$33.573,83 equivalen dengan Rp520,39 juta dan Singapura sejumlah US53.995,53 atau ekuivalen dengan Rp836,93 juta saja sudah bagus.
[***]