Artikel ini ditulis oleh Inas N Zubir, Pemerhati Politik.
Dari pengakuan putri Jenderal Anumerta Ahmad Yani, terungkap bahwa Soekarno tidak senang kepada para Jenderal yang sering mengkritisinya.
Ia bahkan mencurigai Ahmad Yani sebagai salah satu anggota Dewan Jenderal, yang dianggap dapat mengancam kekuasaannya.
Berdasarkan sejarah keluarga Jenderal Ahmad Yani dan konteks politik pada masa itu, timbul pertanyaan yang mendalam: apakah Soekarno terlibat dalam pembantaian para Jenderal yang digosipkan oleh PKI sebagai Dewan Jenderal yang akan melakukan kudeta?
Keterlibatan Soekarno dalam peristiwa tersebut masih menjadi bahan perdebatan di kalangan sejarawan.
Beberapa argumen mendukung dugaan bahwa pemimpin negara saat itu mungkin memiliki kepentingan untuk menghilangkan ancaman yang dirasakan dari kalangan militer, terutama setelah ketegangan yang meningkat antara pihak militer dan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Di sisi lain, ada juga pandangan yang menekankan bahwa Soekarno tidak secara langsung terlibat.
Dengan demikian, penting untuk mendalami lebih jauh konteks sejarah dan politik pada era itu, serta menganalisis berbagai sumber yang ada, agar dapat memahami peran dan sikap Soekarno dalam tragedi yang menewaskan Jenderal Ahmad Yani dan rekan-rekannya.
Untuk dapat menganalisis lebih jauh, kita harus memulai dengan keberadaan Pasukan Cakrabirawa di Istana, yang menjadi tulang punggung bersenjata dari Gerakan 30 September (G30S) PKI.
Pasukan Cakrabirawa, yang juga dikenal sebagai Tjakrabirawa, dibentuk pada 6 Juni 1962, bertepatan dengan peringatan hari lahir Presiden Sukarno.
Resimen Cakrabirawa adalah pasukan pengamanan presiden yang kemudian disebut-sebut terlibat dalam G30S 1965 dan memiliki hubungan erat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Pertanyaannya adalah: apa hubungan Pasukan Cakrabirawa dengan peristiwa G30S dan PKI?
Resimen Cakrabirawa terdiri dari gabungan pasukan TNI Angkatan Darat (AD), Angkatan Laut (AL), Angkatan Udara (AU), dan Kepolisian Republik Indonesia.
Penamaan pasukan ini diambil dari kata “Cakra,” yang merujuk pada senjata milik salah satu tokoh berpengaruh dalam pewayangan, yaitu Krisna, serta “Birawa,” yang berarti hebat atau dahsyat.
Dalam buku Tragedi Seorang Loyalis (2007) karya Julius Pour, dijelaskan bahwa Resimen Cakrabirawa diperkuat oleh 3.000 prajurit terlatih yang memahami strategi gerilya.
Pembentukan pasukan khusus pengamanan presiden ini diusulkan oleh Jenderal Nasution dan kemudian dimanfaatkan oleh PKI untuk menempatkan kader-kadernya di dalam militer sebagai anggota Cakrabirawa.
Oleh karena itu, tidak mengherankan jika sebagian besar anggota dan pemimpin Pasukan Cakrabirawa ditengarai terlibat dalam peristiwa G30S 1965, yang dikenal juga sebagai Gerakan 1 Oktober (Gestok) 1965, yang berhubungan dengan pengaruh PKI.
Beberapa tokoh penting dalam pasukan ini termasuk Letkol Inf Untung Syamsuri (Komandan Batalyon I Cakrabirawa), Lettu Dul Arif (Komandan Resimen Cakrabirawa), serta sejumlah anggota lainnya seperti Pelda Djahurub, Sersan Mayor Bungkus, Serda Raswad, Sersan Mayor Surono Hadiwiyono, Sersan Mayor Satar, Sersan Dua Giyadi, Kopral Dua Hargiono, dan Sersan Satu Ishak Bahar, memiliki kedekatan dengan Soekarno, karena mereka adalah tameng hidup yang bersedia mati untuk Soekarno.
Dengan demikian, hubungan antara Soekarno, pasukan Cakrabirawa, PKI dan G30S menjadi sangat penting untuk dipahami dalam konteks sejarah politik Indonesia pada masa itu, dimana adanya tanda tanya besar, mengapa sebagian dari tameng hidup Presiden Soekarno tidak berada di Istana pada malam pembantaian dan penculikan para Jenderal, tapi justru menjadi jagal yang membunuh para Jendral tersebut.
Oleh karena itu patut kita duga bahwa Cakrabirawa melakukan penghianatan tersebut diketahui dan bahkan mendapat restu Soekarno.
Dengan demikian, hubungan antara Soekarno, Pasukan Cakrabirawa, PKI, dan G30S menjadi sangat penting untuk dipahami dalam konteks sejarah politik Indonesia pada masa itu.
Terdapat tanda tanya besar mengapa sebagian dari tameng hidup Presiden Soekarno tidak berada di Istana pada malam pembantaian dan penculikan para Jenderal, melainkan justru terlibat dalam tindakan kejam yang membunuh para Jenderal tersebut.
Hal ini mengindikasikan kemungkinan adanya penghianatan yang lebih dalam, yang mungkin diketahui dan bahkan mendapat restu dari Soekarno.
Keberadaan Cakrabirawa sebagai pasukan pengamanan presiden yang seharusnya melindungi, justru berbalik menjadi aktor yang terlibat dalam tragedi tersebut, menimbulkan spekulasi mengenai peran Soekarno dalam peristiwa itu.
Oleh karena itu, pencabutan ketetapan (TAP) MPR Nomor 33 Tahun 1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Negara dari Presiden Soekarno, dimana Soekarno dituduh terlibat G30S PKI adalah keliru.
Karena penting untuk menggali lebih dalam mengenai dinamika politik dan militer saat itu, serta menganalisis berbagai bukti dan narasi yang ada untuk memahami secara lebih komprehensif keterkaitan antara semua pihak yang terlibat.
[***]