KEKERASAN tidak pernah lepas dari lika-liku kehidupan, selalu menghantui pergolakan pikiran manusia. Seperti dilansir dari Media Indonesia, bahwa Indonesia Police Watch (IPW) mencatat sebanyak 34 orang meninggal akibat pembunuhan selama Januari 2016.
Ketua presidium IPW, Neta S Pane mengatakan kalau angka kriminalitas saat Januari tergolong tinggi. 34 orang tersebut tewas di Indonesia, diantaranya 22 lelaki, tujuh wanita, dan lima polisi.
Bila kita tengok masa silam, para aktivis bernyali besar seperti Wiji Thukul yang hilang pada Mei 1998, Marsinah yang mayatnya ditemukan pada Mei 1993 dengan tanda-tanda penyiksaan berat. Munir yang meninggal akibat diracuni oleh seseorang.
Para pembunuh aktivis tersebut bebas begitu saja dari jerat hukum. Atau mungkin mereka masih berkeliaran diantara kehidupan kita sekarang.
Namun, keluarga korban tentu tidak tinggal diam. Mereka terus menuntut keadilan, mencari pelaku pembunuhan hingga rambut menguban. Keyakinan hati yang menguatkan perasaan, karena keadilan harus ditegakkan.
Kekerasan dimaknai dalam pergolakan otak saya adalah perilaku yang ekstrimis (neo-fasis).
Di mana isi kepala individu (pelaku kekerasan) diselimuti oleh tangan setan. Melakukan hal yang tanpa dipikirkan apa efek ke depannya.
Setiap yang melakukan kekerasan tentunya akan di hukum (penjara) bila itu terjadi di Indonesia. Maka penjara bisa dikatakan sebagai wujud representatif dari keadilan.
Di dalam konteks kekerasan, saya pikir di dunia ini tidak akan pernah ada yang namanya keadilan selama selembar kertas yang kita sebut uang, masih (menuhankan materialisme, hedonisme, dan liberalisme) dijadikan alat untuk bertahan hidup.
Dan pada akhirnya, keadilan menjadi sebuah mitos, dimana sebagian orang masih ada yang percaya, dan sebagian tidak.
Oleh Muhammad Rizki Hidayat, Mahasiswa IISIP Jakarta