KedaiPena.Com – Baru-baru ini masyarakat dihebohkan dengan hasil sejumlah lembaga survei terkait tingkat kepuasan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin. Dalam rilis sejumlah lembaga survei, tingkat kepuasan Presiden Jokowi-Ma’ruf Amin sendiri mencapai angka 73 persen.
Namun demikian, hasil survei tersebut mendapatkan sorotan, lantaran tingginya kepuasan tidak dibarengi fakta dan kondisi kenyataan di lapangan saat ini. Pasalnya, masyarakat masih dipusingkan dengan kelangkaan dan kenaikan bahan pokok seperti minyak goreng, kedelai, hingga daging.
Menanggapi hal itu, Peneliti Indo Barometer yang juga merupakan Dosen Statistik Unindra Asep Saepudin mengungkapkan, ada beberapa hal yang bisa diperhatikan terkait metodologi dalam mengukur tingkat kepuasan responden yang kerap dilakukan lembaga survei.
“Pertama yang saya sampaikan, survei itu menggunakan sampel. Di dalam survei itu ada dua kategori utama, metodologi dan non metodologi,” ujar dia melalui sambungan telepon, Rabu (2/3/2022).
Ia menjelaskan, metodologi itu terkait bagaimana merumuskan instrumen kuisoner dan sampelnya. Kuisoner tersebut, kata dia, mencakup pertanyaan dan jawaban dari indikator serta variabel.
“Kuisoner itu menyusun pertanyaan dan jawaban indikator serta variabel yang dijadikan kajian. Varian tersebut di dalam teori untuk mendapatkan angka bulat tunggal kepuasan. Jadi memang tidak sekonyong-konyong 73 persen. Ada proses panjang dalam analisis datanya,” beber dia.
Sebagai peneliti, ia menyoroti, kerap munculnya pertanyaan umum dalam mencari tingkat kepuasan di sebuah survei. Ia menilai, semestinya pertanyaan yang diajukan kepada responden bukanlah yang umum.
“Sebagai peneliti dan juga orang statistik,saya melihat di dalam menyusun tingkat kepuasan itu, indeks kepuasan semestinya bukan pertanyaan-pertanyaan umum seperti seberapa puas saudara terhadap kinerja Presiden Jokowi-Wapres Ma’ruf Amin. Biasanya jawabannya, sangat tidak puas, tidak puas, cukup puas, puas, sangat puas itu kategori jawabannya. Lalu kemudian secara umum ada 73 persen kategori cukup puas dan puas,” tegas dia.
Ia memandang, jika cara tersebut mengandung sebuah keliruan. Sebab, kata dia, pertanyaan umum tidak dapat digunakan untuk mengukur tingkat kepuasan.
“Menurut orang statistik itu mengandung kesalahan yaitu karena menurut saya ini biasa puas karena apa itu hanya pertanyaan umum,” papar dia.
Ia menerangkan, di dalam menyusun tingkat kepuasan itu sebaiknya disusun dengan indikator kinerja. Terlebih, jika mengacu program dari Presiden Jokowi-Ma’ruf Amin.
“Saya yakin program Jokowi-Ma’ruf Amin banyak yang dicanangkan. Seharusnya indikator itu lah yang akan menjadi kumulatif tingkat kepuasan secara umum di dalam menyusun tingkat kepuasan,” tegas dia.
Ia melanjutkan, yang menjadi sorotan selanjutnya ialah soal sampling. Ia menegaskan, jika sampling dalam mengukur tingkat kepuasan haruslah representatif nasional.
“Bicara sampling itu juga harus representatif. Kalau, nasional harus representatif terhadap mewakili populasi kalau penduduk 272 juta penduduk, metode sampling yang pertama bagaimana mendistribusikan sample di Indonesia, biasanya menyusun sampling itu yang umum di dengar multi stage random sampling,” tegas dia.
“Jadi memang struktur daerah di Indonesia kan berlapis-lapis dari provinsi, ke kabupaten, kecamatan, kelurahan. Dan di bawahnya juga ada dusun RW-RT sampai kepala keluarga (KK) sampai orang,” tambah dia.
Dalam hal ini, Asep memandang, jika cara mendistribusikan sample dalam mengukur tingkat kepuasan yang dilakukan lembaga survei kerap keliru. Asep menyoroti ditingkatkan multi stage random sampling.
“Cara mendistribusikan sample kadang kadang saya melihat banyak keliru misalnya di tingkat multi stage random sampling itu sampai apa. Kalau saya orang yang berpengalaman di survei, itu stage pertama provinsi kolaborasi irisan dengan rural urban desa atau kota lalu pengambil secara sistematic random terhadap desa dan kelurahan sebagai Primarykey Sampling Unit (PSU) secara proporsional sesuai dengan distribusi proporsi populasi yang ada,” jelas dia.
Mantan Anggota Litbang Perkumpulan Survei Opini Publik Indonesia (Persepi) ini melanjutkan, jumlah sampling dalam mengukur tingkat kepuasan juga mempengaruhi terhadap keterwakilan.
“Misalnya yang umum 1200 responden tetapi walau sama hasilnya, jadi berbeda karena cara distribusi sampling berbeda ke bawahnya bagaimana mendapatkan responden untuk di wawancara,” beber dia.
Ia pun menjelaskan, mengapa menyoroti hal-hal tersebut. Menurutnya, hal itu penting dan menentukan dalam memperoleh data yang kemudian diubah menjadi sebuah informasi.
“Kenapa saya soroti itu karena itu penting banget itu sangat menentukan bagaimana data yang diperoleh dan diolah menjadi informasi,” beber Asep.
Kemudian, kata Asep, di luar metode-metode tersebut juga ada pengaruh tingkat kenetralan dan integritas penyelenggara dalam hal ini lembaga survei.
“Lalu kemudian biaya anggaran yang digunakan survei itu, waktu di dalam target penyelenggaraan survei tersebut, kualitas SDM yang digunakan untuk mendapatkan data tersebut,” tegas dia.
Asep menekankan, sebagai orang survei dalam melakukan riset sebaiknya tidak sekedar mengedepankan dan bicara soal suka serta tidak suka. Lembaga survei sebaiknya tetap dapat mengedepankan fakta yang ada di lapangan.
“Lebih menjunjung objektivitas saya sebagai orang survei riset itu tidak bicara suka atau tidak suka, kita tidak bicara kepuasan publik terhadap Jokowi-Ma’ruf Amin tinggi atau rendah, tetapi kita bicara apa yang ada di lapangan kalau tinggi ya tinggi, rendah ya rendah, tidak ada kepentingan dari hasil,” pungkas dia.
Laporan: Muhammad Lutfi