DI saat musim mudik lebaran, pemerintah berlomba memamerkan kesiapan infrastruktur transportasi yang bisa dinikmati pemudik. Seolah pemudik semua membawa mobil, jadi benar-benar disiapkan tanpa cela.
Tapi jangan lupa sebagian besar pemudik menggunakan transportasi umum, entah pesawat terbang, kapal, bus atau kereta.
Setibanya di daerah tujuan pasti menemukan tawaran transportasi lanjutan hingga tempat tinggalnya dengan tarif tinggi.
Terminal, bandara, pelabuhan secara fisik sudah banyak yang bagus.
Akan tetapi ketersediaan angkutan umum di daerah yang singgah di terminal, pelabuhan dan bandara masih sangat minim.
Ini akibat pemerintah tidak peduli keberadaan transportasi umum di daerah. Pembangunan transportasi umum di daerah betul betul minim sekali.
Andai ada, pasti mahal tarifnya. Tidak ada satupun pelabuhan di Indonesia yang dilayani secara rutin angkutan umum. Angkutan pelat hitam yang dikoordinir oknum otoritas pelabuhan atau okum aparat setempat beketjadana dengan preman lokal masih merajalela dengan tarif yang tidak wajar.
Demikian pula di bandara, hanya segelintir bandara yang menerapkan taksi reguler berargometer. Rata-rata tarif sesuai keinginsn operator yang pasti lebih tinggi dari berargometer.
Bisa jadi sekarang pemerintah mengandalkan transportasi online yang katanya tarifnya murah. Di saat musim mudik, pasti tarifnya tidak murah. Karena tahu, kebutuhan meningkat.
Dampak lainnya, pemudik yang mau bersilaturahmi atau bepergian di kampung halamannya alami kesulitan. Bagi masyarakat golongan menengah ke bawah terpaksa membawa sepeda motor walau perjalanan yang ditempuh hingga di atas 10 jam.
Sungguh miris dan mengerikan korban pemudik sepeda motor bergelimpangan di jalan akibat kelelahan terjadi kecelakaan. Belum lagi korban anak yang dibaea motor turut jadi korban kecelakaan.
Ada upaya mudik gratis sepeda motor, tapi hanya mampu mengangkut tidak lebih dari 1 persen dari total pemudik motor.
Oleh Pengamat Transportasi Djoko Setijowarno