Artikel ini ditulis oleh Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies).
Tugas Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MK), dalam memeriksa dan mengadili pelanggaran kode etik, selesai dibacakan Selasa lalu, 7/11. Anwar Usman dinyatakan terbukti melakukan pelanggaran berat kode etik dan perilaku hakim konstitusi, dan diberhentikan dari jabatan Ketua Mahkamah Konstitusi.
Ada beberapa kejanggalan terkait putusan Majelis Kehormatan MK dan sanksi yang dikenakan kepada Anwar Usman.
Pertama, Majelis Kehormatan MK tidak menyebut secara spesifik pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Anwar Usman. Sehingga sanksi yang diberikan kepadanya menjadi tidak jelas, karena tidak mengacu pada kesalahan spesifik pasal berapa, peraturan dan atau undang-undang mana.
Tentu saja, hal seperti ini sangat tidak lazim dan mencurigakan. Kenapa Majelis Kehormatan MK tidak menyebut secara eksplisit pelanggaran hukum Anwar Usman? Ada apa?
Kedua, sanksi yang diberikan kepada Anwar Usman tidak sesuai dengan sanksi yang diatur di dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK No 1/2023) maupun undang-undang tentang Mahkamah Konstitusi (UU No 7/2020), yang secara eksplisit menyatakan, sanksi pelanggaran berat untuk hakim konstitusi hanya satu, yaitu “diberhentikan tidak dengan hormat”.
Tetapi, Anwar Usman tidak diberhentikan dari hakim konstitusi, apalagi tidak dengan hormat. Anwar Usman hanya diberhentikan dari jabatan Ketua Mahkamah Konstitusi.
Sanksi ini secara nyata melanggar Peraturan Mahkamah Konstitusi dan UU.
Ketiga, pelanggaran berat kode etik Anwar Usman secara nyata melanggar Pasal 17 ayat (5) mengenai konflik kepentingan yang diatur di dalam UU No 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Pasal 17 ayat (5) berbunyi, “Seorang hakim atau panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila ia mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang sedang diperiksa, baik atas kehendaknya sendiri maupun atas permintaan pihak yang berperkara. Anwar Usman tidak melakukan perintah pasal dimaksud, sehingga melanggar”.
Sebagai konsekuensi, putusan yang diambil berdasarkan pelanggaran pasal 17 ayat (5) wajib dinyatakan tidak sah (pasal 17 ayat (6)), dan perkara harus diperiksa kembali (pasal 17 ayat (7)).
Tetapi Jimly Asshiddiqie, Ketua Majelis Kehormatan MK, mengatakan, pasal 17 ayat (6) dan (7) UU No 48/2009 tidak berlaku untuk putusan MK. Karena pasal 24C ayat (1) UUD mengatakan, putusan MK bersifat final. Sehingga pasal dimaksud tidak bisa membatalkan atau menyatakan tidak sah putusan MK yang bersifat final menurut UUD.
Penjelasan Jimly Asshiddiqie sulit diterima akal sehat masyarakat. Mungkin akal sehat masyarakat awam non-hukum beda dengan akal “sehat” ahli hukum.
Bagaimana mungkin, putusan yang jelas-jelas cacat hukum dan moral masih bisa tetap berlaku? Bagaimana bisa masuk akal sehat?
Gambaran bahwa hakim konstitusi sebagai manusia yang sangat terhormat, manusia sempurna, tidak akan melakukan pelanggaran hukum, apalagi dengan sengaja, dalam menangani perkara, sehingga putusannya dinyatakan final dan tidak bisa diganggu gugat, ternyata hanya ilusi. Gambaran palsu.
Faktanya, Anwar Usman telah melakukan pelanggaran berat, mungkin secara sadar. Tapi putusannya masih dianggap sebagai putusan manusia sempurna, tidak bisa dibatalkan. Ironi.
Aneh, tapi nyata. Masyarakat harus menerima kenyataan pahit, harus menerima pasal 17 ayat (6) tersebut tidak berlaku untuk putusan MK. Masyarakat tidak berdaya menghadapi hakim yang dipercaya sebagai utusan Tuhan. Yang dalam hal ini malah berperilaku sebaliknya: Indonesia dalam cengkeraman tirani dan iblis berkedok hakim.
Tetapi, meskipun putusan MK tidak bisa dibatalkan, meskipun pasal 17 ayat (6) tidak berlaku bagi putusan MK, tetapi pelanggaran berat kode etik Anwar Usman harus bisa diproses dan dikenakan sanksi sesuai dengan undang-undang yang berlaku.
Pasal 17 ayat (6) berbunyi, “Dalam hal terjadi pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), putusan dinyatakan tidak sah dan terhadap hakim atau panitera yang bersangkutan dikenakan sanksi administratif atau dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Artinya, selain putusan dinyatakan tidak sah, hakim yang melanggar pasal 17 ayat (5) dikenakan sanksi administratif atau bahkan dipidana.
Pasal 24C ayat (1) UUD mengenai putusan final tentu saja tidak bisa menghilangkan pelanggaran berat Anwar Usman, dan tidak bisa menghapus sanksi administratif, apalagi pidana.
Majelis Kehormatan MK juga tidak bisa menghilangkan pelanggaran dan sanksi kepada Anwar Usman.
Karena itu, Majelis Kehormatan MK seharusnya menyebut secara eksplisit, Anwar Usman melanggar apa saja. Tanpa melakukan itu, Majelis Kehormatan MK terkesan sedang melindungi kepentingan Anwar Usman dan kroni-kroninya, serta mendegradasi sanksi yang diberikan kepadanya.
[***]