KedaiPena.Com – Sebagaimana akhirnya diakui sendiri oleh Presiden Joko Widodo, proyek e-KTP senilai hampir Rp6 triliun pada akhirnya hanya mengubah KTP yang dulunya kertas, sekarang jadi plastik. Hanya itu saja, sementara sistemnya dilupakan.
Haris Rusly, Kepala Pusat Pengkajian Nusantara Pasifik (PPNP) mengatakan, proyek e-KTP yang berjalan saat ini bukan e-KTP, tapi P-KTP.
“Bukan (E)lektronik KTP, tapi (P)lastik KTP,” tegas aktivis Petisi 28 ini dalam keterangannya kepada KedaiPena.Com, ditulis Rabu (15/3).
Lantaran itu, sambungnya, kasus ini tak bisa dilihat dari aspek kejahatan korupsi semata. Skandal ini harus juga dilihat sebagai kejahatan serius terhadap pertahanan dan keamanan negara. Kenapa demikian? Karena data kependudukan sebuah negara adalah data prinsip yang seharusnya dilindungi dan menjadi rahasia negara.
“Data kependudukan sebuah negara tak bisa dilihat kegunaannya dari segi politik pemilu semata, yaitu untuk menyusun daftar pemilih pada saat Pileg, Pilpres dan Pilkada. Data kependudukan yang dihasilkan melalui Sensus Penduduk atau direkam melalui e-KTP adalah dokumen dasar yang dalam menentukan strategi pembangunan, baik perencanaan hingga operasional,” imbuh Haris.
Demikian juga data sumber daya alam, data kekayaan negara dan data perpajakan, semestinya menjadi rahasia negara yang diproteksi oleh negara melalui Badan Intelijen Negara. Di negara tetangga, seperti Malaysia, bibit kelapa sawit hasil riset saja masuk dalam kategori rahasia yang diproteksi oleh intelijen negara. Di Thailand, hasil riset untuk menemukan bibit pertanian sangat dirahasiakan dan dilindungi oleh intelijen negara.
“Dalam skandal mega korupsi e-KTP, tak menutup kemungkinan data kependudukan yang direkam melalui proyek e-KTP tersebut telah jatuh ke tangan musuh negara, Â karena baik mereka yang merencanakan hingga yang menjadi pemenang tender dari projek tersebut adalah para politisi, birokrat hingga kontraktor yang telah terbukti bermental rampok,” Haris melanjutkan.
Jika data kependudukan  tersebut dijual atau jatuh ke tangan musuh negara, baik negara asing maupun korporasi asing, perbankan, asuransi, telekomunikasi, dan lain-lain, maka data tersebut dapat digunakan untuk menguasai perekonomian Indonesia.
“Negara kecil seperti Singapura, yang telah menguasai perekonomian kita, dapat menggunakan data kependudukan tersebut untuk untuk merancang strategi dalam menguasai dan mencengkram makin dalam perekonomian dan keuangan nasional kita,” ujar dia lagi.
Jika data tersebut jatuh ke tangan intelijen asing, maka data tersebut sangat berguna dalam menentukan strategi spionase dalam medan peperangan bentuk baru, baik peperangan dalam bentuk ‘war by proxy, asimetris war, komplex war’ maupun ‘hybrid war’. Tujuannya mengacaukan atau menguasai Indonesia.
Laporan: Muhammad Hafidh